Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

About

25 Sep 2013

hadist



PENDIDIKAN AQIDAH, IBADAH DAN UMUM

I.       PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan suatu kebutuhan dan kewajiban semua insan. Didalamnya terdapat berbagai unsur, diantaranya para pendidik dan peserta didik yang potensinya harus senantiasa dikembangkan kearah yang lebih baik dan optimal.
   Al-qur’an dengan tegas menguraikan arti penting ilmu pengetahuan bagi  kepentingan dan kelangsungan hidup manusia. Maka tidak diragukan lagi ayat-ayatnya sebagian besar berbicara mengenai dasaar-dasar kependidikan dalam arti luas melalui ayat-ayat seperti inilah, nabi muhammad SAW menjabarkannya dalam seluruh aspek kehidupan beliau berkaitan dengan aktivitas pendidikan yang dilakukannya kepada umatnya.
Maka dalam makalah ini akan sedikit menjelaskan hadits-hadits tentang materi pendidikan yang tercantum dalam rumusan masalah dibawah ini.
  
II.    RUMUSAN MASALAH
A.    Hadits tentang pendidikan Aqidah
B.     Hadits tentang pendidikan Ibadah
C.    Hadits tentang pendidikan Baca Tulis, Renang, Memanah dan Ekononi

III. PEMBAHASAN
A.    Pendidikan Aqidah
عن عبيد الله بن أبي رافع عن أبيه قال  رأيت رسول  الله صلى الله عليه وسلم أذن في أذن الحسن بن علي حين ولدته  فاطمة باالصللة ( رواه ابو  داوودد )              
Artinya: Dari Ubaidillah bin Abi Rofi’ dar ayahnya berkata, saya melihat Rasulullah SAW mengadzani pada telinga Hasan bin Ali ketika Fatimah melahirkannya seperti adzan shalat. (HR. Abu Dawud)

Maksud dari hadits diatas adalah ketika bayi lahir kemudian ditelinganya dikumandangkan adzan dan iqomat, berati pendidikan pertama begitu anak lahir ialah diperkenalkan kalimat tauhid ditelinga bayi. Ditelinga kanan dikumandangkan adzan dan ditelinga kirinya dikumandangkan iqomat. Dengan memperdengarkan adzan dan iqomat (akidah telah dimulai sebelum bayi mendengar suara dan ucapan lain, terlebih dahulu diperdengarkan kalimat tauhid, sehingga akan teringat kembali pada ikrar tauhidnya yang dilakuakan sebelum dilahirkan ke dunia. Dengan demikian dapat diharapkan fitrah islamiyahnya yang dibawa semenjak lahir itu akan terselamatkan dengan baik.[1]
Akidah dalam ajaran islam merupakan dasar bagi segala tindakan muslim agar tidak terjerumus kedalam perilaku-perilaku syirik. Syirik disebut kezaliman karena perbuatan itu menempatkan ibadah tidak pada tempatnya dan memberikannya kepada yang tidak berhak menerimanya. Oleh karena itu, seorang muslim yang baik akan menjaga segala perbuatannya dari hal-hal yang berbau syirik, baik syirik kecil maupun syirik besar. Orang yang memiliki aqidah benar, ia akan mampu mengimplementasikan tauhid itu dalam bentuk akhlak yang mulia (al-akhlak al-karimah).[2]
Dengan aqidah islam, muncul kesedian untuk menaati ajaran agama. Tanpa aqidah yang benar kiranya sulit muncul kesadaran untuk melaksanakan ajaran agama. Oleh sebab itu mempelajari aqidah amat besar manfaatnya, antara lain sebagai berikut.
1.      dapat memperoleh petunjuk hidup yang benar, sesuai kehendak Allah yang telah mencipta alam semesta, termasuk diri kita sendiri.
2.      selamat dari pengaruh kepercayaan lain yang akan membawa kerusakan hidup yang jauh dari kebenaran.
3.      memperoleh ketentraman dan kebahagian hidup yang hakiki karena memiliki hubungan batin yang dekat dengan Allah.
4.      tidak mudah terpengaruh kemewahan hidup di dunia karena kehidupan yang kekal adalah kehidupan di akhirat kelak
5.      mendapat jaminan masuk surga dan selamat dari neraka apabila benar-benar berpegang teguh pada akidah islam secara sempurna.[3]   

B.     Pendidikan Ibadah
 عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم مروا أولادكم بالصلاة وهم أبناء سبع سنين واضربوهم عليها وهم أبناء عشر وفرقوا بينهم في المضاجع (رواه ابوداود)
Artinya: Dari Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya berkata, bersabda Rasulullah SAW: Perintahlah anak-anakmu untuk shalat ketika mereka sudah berusia tujuh tahun dan pukullah mereka ketika mereka sudah berumur sepuluh tahun dan pisahkanlah mereka dari tempat tidur. (HR. Abu Dawud).
Berdasarkan riwayat di atas, batas usia kanak-kanak itu dapat dikelompokkan menjadi:
1.      Usia 0-2 tahun. Pada usia seperti ini baik dilihat dari segi jasmani maupun rohani, anak masih lemah, sehingga dalam perkembangan biologisnya pun ia masih bergantung pada suplai makanan yang berasal dari air susu ibu (ASI). Oleh sebab itu, tidak heran jika dalam salah satu firman-Nya Allah menganjurkan para ibu untuk menyusui anaknya selama dua tahun penuh. Upaya tersebut tidak hanya baik ditinjau dari aspek jasmani sebagaimana dijelaskan para pakar kesehatan, namun justru yang paling penting adalah perasaan kasih sayang yang diperoleh anak karena pelukan sang ibu ketika menyusui.
2.      Usia 2-7 tahun. Pada usia seperti ini, anak sudah mampu berjalan dan senang bermain. Dalam hal ini, Nabi memberi petunjuk agar tidak mengganggu kesenangan anak-anak yang sedang bermain. Kenyataan tersebut dapat terlihat dari sikap Nabi terhadap kedua cucunya yang ketika beliau sujud dalam sebuah shalat, kedua cucunya itu naik di atas pundaknya seraya menjadikan Nabi seperti seekor kuda. Nabi yang sedang shalat sekalipun tidak memarahinya, malah beliau memanjangkan sujudnya, hingga Hasan dan Husain merasa puas.
3.      Usia 7-10 tahun. Sebagaimana disebutkan di atas ketika anak sudah memasuki usia tujuh tahun, ada suatu kewajiban orang tua agar mulai memerintahkan mereka untuk melakukan shalat. Secara tersirat, perintah tersebut menunjukkan bahwa pada usia ini anak sudah memiliki kemampuan untuk menghafal bacaan-bacaan tertentu dan melakukan sesuatu yang bersifat fisik.
4.      Usia 10- Ihtilam. Pada usia seperti ini, orang tua diharuskan memberi sanksi yang bersifat fisik ketika anaknya tidak mau mengerjakan shalat. Secara tersirat, perintah tersebut menunjukkan bahwa pada usia ini anak sudah siap menerima sanksi dalam bentuk fisik. Dari sini pula dapat dicermati bahwa orang tua belum diperkenankan melakukan pendidikan dengan sanksi fisik ketika anaknya belum memasuki usia 10 tahun. Pada usia-usia seperti ini anak belum siap, sehingga jika hal itu dilakukan malah akan menjadikan anak memiliki trauma yang membekasdalam jiwanya.
Akan tetapi, kenyataan tersebut tidak serta merta dijadikan alasan bolehnya melakukan tindak kekerasan pada anak-anak yang  membangkang. Sebab dalam hadits tersebut hanya disebutkan, orang tua boleh memukul anaknya. Dalam hal ini, hadits tersebut tidak menyebutkan kualitas pukulan yang dikenakanpada anaknya itu, namun jika kita mencoba menghubungkan dengan kondisi sikap orang tua terhadap anaknya sebelum memasuki usia tujuh tahun, akan terlihat bahwa hukuman itu pun harus diberikan secara bertahap, sebab fisik anak itu sendiri berkembang secara bertahap.
Di samping itu, kata fadhrib,dalam hadits ini di satu sisi mengandung arti memukul, namun di sisi lain kata ini pun sering diartikan secara majazi (dengan sikap tegas), yang dengan demikian, ketika anak mulai masuk usia sepuluh tahun, orang tua mulai bisa menerapkan kedisiplinan pada anak-anaknya, yakni dengan memberikan berbagai macam tugas yang tidak hanya dibarengi dengan ganjaran tetapi pula dengan hukuman.
Di samping itu, orang tua pun harus mulai mengajarkan kepada anak-anaknya akan hal-hal yang berkaitan dengan kemandirian. Kenyataan ini bisa dilihat dari diharuskannya orang tua membiasakan anaknya untuk tidak tidur bersama orang tuanya. Bahkan ketika memasuki usia tersebut, orang tua pun dituntut untuk mengajari anak-anaknya akan hal yang berhubungan dengan peran sebagai seorang pria atau sebagai seorang perempuan, sehingga orang tua harus memisahkan antara kamar anak perempuan dengan kamar anak laki-laki.[4]
Dalam kondisi yang memungkinkan, anak-anak yang sudah menginjak usia seperti itu dibiasakan untuk tidur ditempat tidur sendiri-sendiri, terpisah antara laki-laki dengan perempuan. Pembiasan seperti ini diharapkan akan memberikan pengertian tentang perbedaan jenis kelanin dalam rumah tangga. Pemahaman ini sangat penting dalam upaya menanamkan pendidikan seks, karena kematangan seksual pada periode ini mulai mempengaruhi para remaja. Perilaku seks yang menyimpang, salah satu penyebabnya adalah faktor keturunan. Namun selain itu juga disebabkan oleh kondisi lingkungan dan pendidikan di rumah tangga.
Pembiasan yang bersifat preventif dalam pendidikan keluarga yang berkaitan dengan tingkah laku seksual seperti itu, paling tidak diharapkan akan berpengaruh bagi pembentukan kepribadian remaja.[5]
C.     Pendidikan Baca Tulis, Renang, Memanah dan Ekononi
  عن أبى رافع قال قالت يارسول الله أللولد علينا حق كحقنا عليهم قال نعم حق الولد على الوالد أن يعلمه الكتابه والسباحة واالرمى وان يورثه طببا (هذا حديث ضعيف عيسى بن ابراهم الهاشمي هذا من شيوخ بقية منكر الحديث ضعيفة يحي بن معين والبخاري وغيرهما)(رواه  البيههقيي)                                                                                     
Artinya: Dari Abi Rofi’ berkata, saya berkata: Hai Rasulullah apakah anak memiliki hak atas kita sebagaimana hak kita atas mereka. Rsulullah SAW menjawab: Ya, kewajiban orang tua terhadap anaknya adalah mengajarkannya menulis, berenang, memanah dan mewariskan kebaikan. (HR. Baihaqi)

Maksud dari hadits diatas adalah anak itu mempunyai hak terhadap orang tua sebagaimana orang tua mempunyai hak terhadap anak. Hak anak terhadap orang tua yaitu, orang tua wajib mengajarkan anaknya dengan apa yang ia miliki. Seperti mengajarkan menulis, berenang, memanah dan juga mewariskan kebaikan (ekonomi).
Dengan membaca seseorang tidak saja tercelik dan jadi semakin bijak. Tetapi juga dapat memetik hikmah dan manfaat berbagai refernsi. Oleh karena itu, reading habit (kebiasaan membaca) haruslah ditanamkan pada anak sejak dini. Ada beberapa pakar ilmu pengetahuan menganjukan, kebiasaan membaca sudah bisa ditanamkan sejak si jabang bayi masih dalam kandungan ibunya. Pada saat ini ibu perlu membacakan cerita bagi si jabang bayi, sambil berkomunikasi dengannya.[6]
Tubuh manusia tidak dapat dipisahkan dengan akal maupun rohani oleh karena itu islam menganjurka agar melakukan pembianaan jasmani dan rohanianat serta menjaga keseimbangan antar keduannya. Oleh karena itu, didalam tahun pertama kehidupannya anak harus memiliki kebebasan penuh dalam berolahraga dan bermain. Olahraga dan bermain merupakan sarana untuk memperkuat dan membantu pertumbuhan jasmani, menjaga kesehatan, serta membangkitkan semangat.[7] Rasulullah bersabda : “ mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh allah daripada mukmin yang lemah. Dalam segalanya ia lebih baik. “(Hadits HR.Muslim)”.
Pengertian kuat dalam hadits diatas dalam segala yang positif tentunya baik dalam bidang duniawiyah maupun ukrawiyah, termasuk juga kuat dalam hal jasmaniah. Bagaiman caranya supaya jasmaniah kita kuat? Dengan beolahraga. Ada banyak jenis olahraga yng dianjurkan rasulullah misalnya : berenang, memanah dan naik kuda. Tentu saja olahraga apapun boleh, asalkan bermanfaat, sesuai kemampuan, dan sesuai syariat islam.[8]
Islam adalah harta dan warisan yang paling berharga serta tiada ternilai dalam hidup ini. Setiap orangtua harus berupaya agar islam tetap ada, tumbuh dan berkembang pada dirinya, keluarga, anaknya, bahkan sampai keturunannya terus-menerus.
 
IV. KESIMPULAN
A.  Akidah adalah beberapa perkara yang wajib diyakini kebenarannya oleh hatimu, mendatangkan ketentraman jiwa, menjadi keyakinan yang tidak bercampur sedikitpun dengan keragu-raguan. berati pendidikan pertama begitu anak lahir ialah diperkenalkan kalimat tauhid ditelinga bayi.
B.  Berdasarkan riwayat di atas, batas usia kanak-kanak itu dapat dikelompokkan menjadi:
1.    Usia 0-2 tahun. Pada usia seperti ini baik dilihat dari segi jasmani maupun rohani, anak masih lemah, sehingga dalam perkembangan biologisnya pun ia masih bergantung pada suplai makanan yang berasal dari air susu ibu (ASI).
2.    Usia 2-7 tahun. Pada usia seperti ini, anak sudah mampu berjalan dan senang bermain. Dalam hal ini, Nabi memberi petunjuk agar tidak mengganggu kesenangan anak-anak yang sedang bermain.
3.    Usia 7-10 tahun. Sebagaimana disebutkan di atas ketika anak sudah memasuki usia tujuh tahun, ada suatu kewajiban orang tua agar mulai memerintahkan mereka untuk melakukan shalat.
4.    Usia 10- Ihtilam. Pada usia seperti ini, orang tua diharuskan memberi sanksi yang bersifat fisik ketika anaknya tidak mau mengerjakan shalat.
C.  Maksud dari hadits diatas adalah anak itu mempunyai hak terhadap orang tua sebagaimana orang tua mempunyai hak terhadap anak. Hak anak terhadap orang tua yaitu, orang tua wajib mengajarkan anaknya dengan apa yang ia miliki. Seperti mengajarkan menulis, berenang, memanah dan juga mewariskan kebaikan (ekonomi).

DAFTAR PUSTAKA
Adib Al-Arif, Ahmad. 2009. Akidah Akhlak. Semarang : CV. Anelka Ilmu
Mansur. 2005.  Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Islam. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Jalaluddin. 2003. Teologi Pendidikan.  Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada.
Mubarok, Zaky. 1998.  Akidah Islam. Yogyakarta : UII Press.
Muhtar, Heri Jauhari.  2005. Fiqh  Pendidikan. Bandung : PT. Remaja Rosda Karya.
Nurwadjah, Ahmad. 2007. Tafsir ayat-ayat Pendidikan: Hati yang Selamat Hingga Kisah Luqman. Bandung: MARJA.
Syarif Putra, R. Masri. 2008. Menumbuhkan Minat Baca Anak. Jakarta : PT. Macanan Jaya Cemerlang.


[1] Dr. Mansur MA, Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Islam, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005) hlm 170
[2] Zaky Mubarok, Akidah Islam, (Yogyakarta: UII Press, 1998) hlm 37
[3] Ahmad Adib Al-Arif, Akidah Akhlak, (Semarang : CV Anelka Ilmu, 2009) hlm 6
[4] Nurwadjah Ahmad,E.Q, Tafsir ayat-ayat Pendidikan: Hati yang Selamat Hingga Kisah Luqman, (Bandung: MARJA, 2007), hlm. 23-24.
[5] Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 2003), hlm. 180.   
[6] R. Masri Syarif Putra, Menumbuhkan Minat Baca Anak, (Jakarta : PT. Macanan Jaya Cemerlang, 2008), hlm 1
[7] Dr. Mansur MA, Op Cit, hlm 167
[8] Drs. Heri Jauhari Muhtar, Fiqh Pendidikan, (Bandung : PT Remaja Rosda Karya, 2005)hlm 104

0 komentar: