Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

About

25 Sep 2013

Hakekat Peserta Didik



HAKIKAT PESERTA DIDIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM

       I.      PENDAHULUAN
Pendidikan ibarat uang logam, selalu memiliki 2 sisi yakni, satu pihak bertugas mengajar, sedangkan pihak lain tugasnya belajar. Satu sisi memberi, sisi lain menerima.
Anak didik merupakan salah satu dari 2 sisi tersebut, yang memiliki tugas menerima konsep pendidikan, agar dirinya terbentuk insan muslim. Yang kenal dan tahu akan Tuhan dan agamanya. Memiliki akhlaq al-qur’an. Bersifat, bersikap dan bertindak sesuai dengan kaidah al-qur’an. Berpikir dan berbuat demi kepentingan umat. Serta selalu turut ambil bagian dalam kegiatan pembangunan manusia seutuhnya. Selain giat memajukan kehidupan umat lewat amal nyata, karena ilmunya telah mereka kuasai dengan baik.
Itulah sebabnya, Islam melihat perlunya sebuah konsep pendidikan yang harus dirancang khusus, untuk dapat mencetak dan atau memproduksi insan-insan shalih. Yang tingkah lakunya sesuai dengan aqidahnya. Sehingga konsep pendidikan Islam untuk para anak didik, harus dipersiapkan sedemikian rupa, berisi hal-hal yang menunjang tujuan Islam.[1]

    II.      RUMUSAN MASALAH
A.    Makna peserta didik dan konsepsi Islam tentang anak
B.     Tugas dan kewajiban peserta didik
C.     Sifat-sifat peserta didik

 III.      PEMBAHASAN
A.    Makna peserta didik dan konsepsi Islam terhadap anak
1.      Makna peserta didik
Diantara komponen terpenting dalam pendidikan Islam adalah peserta didik atau anak didik. Dalam perspektif pendidikan Islam, peserta didik merupakan subyek dan obyek, oleh karenanya aktivitas kependidikan tidak akan terlaksana tanpa keterlibatan peserta didik di dalamnya.[2]
Dilihat dari segi kedudukannya, anak didik adalah makhluk yang sedang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan  menurut fitrahnya masing-masing. Mereka memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju ke arah titik optimal kemampuan fitrahnya.
Dalam bahasa Arab dikenal dengan tiga istilah yang sering digunakan untuk menunjukkan pada anak didik kita. Tiga istilah tersebut adalah murid  yang secara harfiah berarti orang yang akan menginginkan atau membutuhkan sesuatu, tilmidz (jamaknya) talamidz yang berarti murid, dan thalib al-ilm yang menuntut ilmu, pelajar atau mahasiswa, ketiga istilah tersebut seluruhnya mengacu kepada seseorang yang tengah menempuh pendidikan. Perbedaannya terletak pada penggunanya. Pada sekolah yang tingkatannya rendah seperti SD digunakan istilah murid dan tilmidz, sedangkan pada sekolah yang tingkatannya lebih tinggi seperti SLP, SLA, dan perguruan tinggi digunakan istilah thalib al-ilm.
Berdasarkan pengertian diatas, maka anak didik dapat dicirikan sebagai orang yang tengah memerlukan pengetahuan atau ilmu, bimbingan dan pengarahan.[3]
Pemahaman yang lebih konkret tentang peserta didik sangat perlu diketahui oleh setiap pendidik. Hal ini sangat beralasan karena melalui pemahaman tersebut akan membantu pendidik dalam melaksanakan tugas dan fungsinya melalui berbagai aktivitas kependidikan. Untuk itu, perlu terlebih dahulu diperjelas beberapa deskripsi tentang hakikat peserta didik dan implikasinya terhadap pendidikan Islam, yaitu:
a.       Peserta didik bukan merupakan miniatur orang dewasa, akan tetapi memiliki dunianya sendiri.
b.      Peserta didik adalah manusia yang memiliki diferensiasi periodisasi perkembangan dan pertumbuhan.
c.       Peserta didik adalah manusia yang memiliki kebutuhan, baik yang menyangkut kebutuhan jasmani maupun rohani yang harus dipenuhi.
d.      Peserta didik adalah makhluk Allah yang memiliki perbedaan individual (differensiasi individual), baik yang disebabkan oleh faktor pembawaan maupun lingkungan dimana ia berada.
e.       Peserta didik merupakan resultan dari dua unsur utama, yaitu jasmani dan rohani. Unsur jasmani memiliki daya pisik yang menghendaki latihan dan pembiasaan yang dilakukan melalui proses pendidikan. Sementara unsur rohaniah memiliki dua daya, yaitu daya akal dan daya rasa.
f.       Peserta didik adalah manusia yang memiliki potensi (fitrah) yang dapat dikembangkan dan berkembang secara dinamis.
Seluruh pendekatan peserta didik di atas perlu dipahami secara mendalam oleh setiap pendidik atau komponen yang terlibat dalam proses kependidikan Islam.[4]
2.      Konsepsi Islam tentang anak                                        
Anak didik di dalam mencari nilai-nilai hidup, harus dapat bimbingan sepenuhnya dari pendidik, karena menurut ajaran Islam, saat anak dilahirkan dalam keadaan lemah dan suci atau fitrah sedangkan alam sekitarnya akan memberi corak warna terhadap nilai hidup atas pendidikan agama anak didik.
Hal ini sebagaimana sabda nabi Muhammad SAW, yang berbunyi:
“Tidaklah anak yang dilahirkan itu kecuali telah membawa fitrah (kecenderungan untuk percaya kepada Allah), maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak tersebut beragama Yahudi, Nasrani, Majusi.”
Demikian pula dalam Al-qur’an surat ar-Rum ayat 30.            
Dari ayat dan hadist tersebut jelaslah bahwa pada dasarnya anak itu telah membawa fitrah beragama, dan kemudian bergantung kepada para pendidiknya dalam mengembangkan fitrah itu sendiri sesuai dengan usia anak dalam pertumbuhannya.[5]

B.     Tugas dan kewajiban peserta didik
Agar pelaksanaan proses pendidikan Islam dapat mencapai tujuan yang diinginkan, maka setiap peserta didik hendaknya senantiasa menyadari tugas dan kewajibannya.[6] Menurut Asma Hasan Fahmi, diantara tugas dan kewajiban yang perlu dipenuhi peserta didik adalah:
1.      Seorang murid harus membersihkan hatinya dari kotoran sebelum ia menuntut ilmu, karena belajar adalah semacam ibadah, dan tidak sah ibadah kecuali dengan bersih hati.
2.      Hendaklah tujuan belajar itu ditujukan untuk menghiasi ruh atau jiwa dengan sifat keutamaan, mendekatkan diri dengan Tuhan, dan bukan untuk bermegah-megah dan mencari kedudukan.
3.      Dinasehatkan agar pelajar tabah dalam memperoleh ilmu pengetahuan dan supaya merantau, demikian juga seorang pelajar dinasehatkan agar ia tidak sering menukar guru, kalau keadaan menghendaki ia harus menanti sampai dua bulan sebelum menukar seseorang guru.
4.      Wajib menghormati guru dan bekerja untuk memperoleh kerelaan guru dengan mempergunakan bermacam-macam cara.[7]
Thasy  kubra zadeh memperingatkan pelajar supaya tidak menganggap rendah sedikitpun pengetahuan-pengetahuan apa saja dengan sebab ia tidak mengetahuinya, tetapi ia harus mengambil bagian dari tiap-tiap ilmu yang pantas baginya, dan tingkatan yang wajib baginya. Janganlah ia mengikuti teman-temannya yang bodoh dalam mengecam sebagian ilmu, seperti ilmu manthiq, dan ilmu falsafah (hikmah), tanpa mengetahui apa yang patut dicela dan dipuji tentangnya. Kemudian disamping itu ia harus bertekad untuk belajar sampai akhir hayatnya, dan supaya merantau ke negeri-negeri yang jauh untuk mencari guru.[8]
Selain itu terdapat pula pendapat Athiyah al-Abrasy yang mengungkapkan beberapa hal penting sebagaimana disebutkan diatas, juga menambahkan hal-hal sebagai berikut:
Pertama, seorang anak didik hendaknya tekun belajar, bergadang (bangun) diwaktu malam. Kedua, ia harus saling menyayangi dengan sesama temannya, sehingga merupakan satu persaudaraan yang kokoh. Ketiga, seorang anak didik harus tekun belajar, mengulangi pelajarannya diwaktu senja dan menjelang subuh, waktu antara isya dan sahur adalah waktu yang penuh berkah.[9]
Seorang anak didik harus mempelajari ilmu yang berhubungan dengan pemeliharaan hati, seperti bertawakal, mendekatkan diri kepada Allah SWT, memohon ampunannya dan mencari keridlaannya, karena semua itu diperlukan bagi tingkah laku kehidupan sehari-hari dan bagi kemuliaan seorang alim. Dengan  ilmu yang demikian itu, seseoarang menjadi mulia, sebagaimana nabi Adam as yang dihormati oleh para malaikat. Para malaikat disuruh sujud kepada nabi Adam, karena ia memiliki ilmu yang mulia. Hal ini sejalan dengan pendapat Muhammad bin al-Hasan ibn Abdullah dalam sya’irnya,
تعلم فانّ العلم زين لاهله. وفضل وعنوان لكلّ المحامد
“Belajarlah kamu, karena ilmu itu adalah hiasan bagi yang memiliknya, keutamaan dan pertolongan bagi derajat yang terpuji. Dan jadikanlah hari-hari yang dilalaui sebagai kesempatan untuk menambah ilmu, dan berjuanglah dalam meraih segenap keluhuran ilmu.”

Lebih lanjut Muhammad bin al-Hasan bin Abdullah dalam sya’irnya mengatakan:
هو العلم الهدى الى سنن الهدى هواالحصن تنجي من جميع السّدائد
“Jadilah engkau sebagai ahli fiqih, karena fiqih itu adalah seutama-utamanya petunjuk untuk mencapai kebaikan dan takwa dan memperbaiki tujuan. Ia adalah ilmu yang dapat menunjukkan pada jalan yang benar, dan sebagi benteng yang dapat menyelamatkan dari segala kesulitan.”
                       
Imam al-Zarnuij lebih lanjut mengatakan bahwa seorang faqih yang wara’ (menjaga diri dari yang haram dan syubhat) adalah lebih ditakuti oleh syaitan dari pada seribu orang yang beribadah.[10]
Dalam proses pendidikan kedudukan sebagai si terdidik, bukanlah sesuatu yang tidak penting. Seseorang yang masih belum dewasa, misalnya, mengandung banyak sekali kemungkinan-kemungkinan untuk berkembang, baik jasmani maupun rohani. Ia memiliki jasmani yang belum mencapai taraf kematangan baik bentuk, ukuran maupun perimbangan bagian-bagiannya. Dalam segi rohaniah si anak mempunyai bakat-bakat yang masih harus dikembangkan, mempunyai kehendak, perasaan dan pikiran yang belum matang.
Di samping itu ia mempunyai banyak kebutuhan: antara  lain kebutuhan akan pemeliharaan jasmaniah, makanan, minuman dan pakaian: kebutuhan akan kesempatan berkembang, bermain-main, berolahraga dan sebagainya.
Selain dari pada itu, si anak mempunyai pula kebutuhan akan-akan ilmu pengetahuan duniawi dan keagamaan, kebutuhan akan pengertian tentang nilai-nilai kemasyarakatan, kesusilaan dan keagamaan: kebutuhan akan kasih sayang dan sebagainya.[11]
Dilihat dari segi mental psikologis, dalam diri pribadi manusia telah diberikan suatu kekuatan atau kemampuan rohaniah untuk memilih alternatif mana yang baik dan mana yang buruk. Akan tetapi Tuhan akan memuji hamba-Nya yang mampu memilih yang baik. Hal ini dapat dipahami dari firman Allah yang artinya sebagai berikut:

 “Demi jiwa dan apa yang menyempurnakannya, maka Allah mengilhamkan (dengan kemampuan) memilih jalan yang buruk dan jalan ketaqwaan, sungguh beruntung orang yang membersihkan jiwanya dan sungguh rugilah orang yang mengotorinya.” (Asy-Syamsu, 7-10)

Dengan demikian dapat kita ketahui bahwa pandangan dasar Islam tentang kemungkinan manusia untuk memperoleh kemajuan hidupnya adalah terletak pada kemampuan belajarnya. Sedang kemampuan belajar seseorang telah  ditetapkan oleh Tuhan sebagai suatu kemampuan ikhtiariahnya sendiri melalui dari sejak lahir sampai meninggal dunia (life long education).[12]
C.    Sifat-sifat ideal peserta didik
Dalam upaya mencapai tujuan pendidikan Islam, peserta didik hendaknya memiliki dan menanamkan sifat-sifat yang baik dalam diri dan kepribadiannya. Diantara sifat-sifat ideal yang perlu dimiliki peserta didik misalnya: berkemauan keras atau pantang menyerah, memiliki motivasi yang tinggi, sabar, tabah, tidak mudah putus asa, dan lain sebagainya.
Berkenaan dengan sifat ideal di atas, Imam al- Ghazali, sebagaimana dikutip Fatahiyah Hasan Sulaiman, merumuskan sifat-sifat yang patut dan harus dimiliki peserta didik kepada 10 macam sifat, yaitu:
1.      Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub ila Allah. Konsekuensi dari sikap ini, peserta didik akan senantiasa mensucikan diri dengan akhlaq al-karrimah dalam kehidupan sehari-hari, serta berupaya meniggalkan watak dan akhlaq yang rendah (tercela) sebagai refleksi atas Q.S. AL-An’aam/6:162 dan Adz Dzaariyaat/51:56.
2.      Mengurangi kecenderungan kepada kehidupan duniawi dibanding ukhrawi atau sebaliknya. Sifat yang ideal adalah menjadikan kedua dimensi kehidupan (dunia-akhirat) sebagai alat yang integral untuk melaksanakan amanatnya, baik secara vertikal maupun horizontal.
3.      Bersikap tawadhu’  (rendah hati).
4.      Menjaga pikiran dari berbagai pertentangan yang timbul dari berbagai aliran. Dengan pendekatan ini, peserta didik akan melihat berbagai pertentangan dan perbedaan pendapat sebagai sebuah dinamika yang bermanfaat untuk menumbuhkan wacana intelektual, bukan sarana saling menuding dan menganggap diri paling benar.
5.      Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji, baik ilmu umum maupun agama.
6.      Belajar secara bertahap atau berjenjang dengan memulai pelajaran yang mudah (konkrit) menuju pelajaran yang sulit (abstrak): atau dari ilum yang fardhu ‘ain menuju ilmu yang fardhu kifayah (Q.S. Al Fath/ 48:19).
7.      Mempelajari ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih pada ilmu yang lainnya. Dengan cara ini, peserta didik akan memiliki spesifikasi imu pengetahuan secara mendalam.
8.      Memahami nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari.
9.      Memprioritaskan ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu duniawi.
10.  Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan, yaitu ilmu pengetahuan yang dapat bermanfaat, membahagiakan, menjesahterakan, serta memberi keselamatan hidup dunia dan akhirat, baik untuk dirinya maupun manusia pada umumnya.[13]     
 
 IV.      KESIMPULAN
·         Anak didik adalah makhluk yang sedang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan  menurut fitrahnya masing-masing. Mereka memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju ke arah titik optimal kemampuan fitrahnya. Dan pada dasarnya anak itu telah membawa fitrah beragama, dan kemudian bergantung kepada para pendidiknya dalam mengembangkan fitrah itu sendiri sesuai dengan usia anak dalam pertumbuhannya.
·         Seorang anak didik harus mempelajari ilmu yang berhubungan dengan pemeliharaan hati, seperti bertawakal, mendekatkan diri kepada Allah SWT, memohon ampunannya dan mencari keridlaannya, karena semua itu diperlukan bagi tingkah laku kehidupan sehari-hari dan bagi kemuliaan seorang alim.
·         sifat-sifat ideal yang perlu dimiliki peserta didik misalnya: berkemauan keras atau pantang menyerah, memiliki motivasi yang tinggi, sabar, tabah, tidak mudah putus asa, dan lain sebagainya.




[1] Kamal Muhammad Isa, Manajemen Pendidikan Islam, (Jakarta: Fikahati Aneska, 1994), hlm. 79.
[2] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis Dan Prakti, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hlm. 47.
[3] Abuddin Nata, Filsafat Dan Pendidikan Islam 1,(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 79-80.
[4] Samsul  Nizar, Op.Cit, hlm. 48-50.
[5] Zuhairini, dkk,  Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm, 170-171.
[6] Samsul Nizar, Op.Cit, hlm. 50.
[7] Asma Hasan, Fahmi, Sejarah Dan Filsafat Pendidikan Islam,( Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 175.
[8] Ibid., hlm. 176.
[9] Abuddin Nata, Op.Cit, hlm. 84.
[10] Ibid., hlm. 85-86.
[11] Ahmad Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Ma’arif, 1989), hlm.32-33.
[12] Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), hlm. 81.
[13] Samsul Nizar, Op.Cit, hlm. 52-53.

0 komentar: