Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

About

12 Nov 2013

Ritual Jawa dalam pandangan Islam



Hukum Tahlilan
Tahlilan adalah ritual / upacara selamatan yang dilakukan sebagian umat Islam, kebanyakan di Indonesia dan kemungkinan di Malaysia, untuk memperingati dan mendoakan orang yang telah meninggal yang biasanya dilakukan pada hari pertama kematian hingga hari ketujuh, dan selanjutnya dilakukan pada hari ke-40, ke-100, kesatu tahun pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Ada pula yang melakukan tahlilan pada hari ke-1000. (sumber http://id.wikipedia.org/wiki/Tahlilan)
Tahlilan ini dilakukan dengan mengucapkan berbagai dzikir dan pembacaan al Qur’an (seperti; surat Al Fatihah dan Yasin) bahkan tidak jarang juga keluarga si mayit secara khusus mengundang para qori untuk membacakannya bagi si mayit. Tahlilan kemudian ditutup dengan doa yang dipimpin oleh tokoh ulama setempat yang di-amini oleh para hadirin.
Ada dua hal yang perlu dilihat dari sudut pandang syari’ah didalam permasalahan ini :
  1. Pengiriman pahala amal-amal sholeh kepada si mayit.
Abu Hirairoh meriwayatkan dari Rasulullah saw bahwa beliau saw bersabda,”Apabila anak Adam meninggal dunia maka terputuslah amalnya kecuali dari tiga hal : dari sedekah jariyah atau ilmu yang bermanfaat atau anak sholeh yang mendoakannya.” (HR. Muslim)
Dalam penjelasan tentang hadits ini Imam Nawawi mengatakan, ”Doa, pahalanya akan sampai kepada si mayit demikian pula sedekahnya dan keduanya sudah menjadi kesepakatan para ulama. Demikian halnya dengan pelunasan utang-utangnya. Adapun haji bagi si mayit diperbolehkan menurut Syafi’i dan para pendukungnya, dan ini masuk dalam bab pelunasan utang apabila hajinya adalah yang wajib dan apabila yang sunnah serta telah diwasiatkan oleh si mayit maka ini masuk dalam bab wasiat. Adapun jika ia mati dan memiliki tanggungan puasa maka yang benar adalah walinya harus berpuasa baginya, masalah ini telah dibahas didalam bab puasa. Sedangkan bacaan al Qur’an dan menjadikan pahalanya bagi si mayit, sholat baginya atau yang sejenis itu maka didalam madzhab Syafi’i dan jumhur ulama bahwa itu semua tidaklah sampai kepada si mayit..” (Shohih Muslim bi Syarhin Nawawi juz XI hal 122)
Sedangkan membaca Al Qur’an, ini merupakan pendapat jumhur ulama dari kalangan Ahlus Sunnah. Imam Nawawi berkata,”Yang lebih terkenal dan mazhab Syafi’i bahwa hal itu tidaklah sampai.” Ahmad bin Hambal dan para sahabat Syafi’i berpendapat bahwa hal itu sampai kepada si mayit. Maka sebaiknya si pembaca setelah membacanya mengucapkan,”Ya Allah aku sampaikan seperti pahala bacaanku ini kepada si fulan.”
Di dalam kitab “al Mughni” oleh Ibnu Qudamah disebutkan: Ahmad bin Hanbal mengatakan,”Segala kebajikan akan sampai kepada si mayit berdasarkan nash-nash yang ada tentang itu, karena kaum muslimin biasa berkumpul di setiap negeri kemudian membaca Al Qur’an dan menghadiahkannya bagi orang yang mati ditengah-tengah mereka dan tidak ada yang menentangnya, hingga menjadi kespekatan.”
Namun demikian mereka yang mengatakan bahwa pahala bacaan al Qur’an itu sampai kepada si mayit mensyaratkan bahwa yang membacanya tidak diperbolehkan menerima upah dari bacaannya tersebut. Dan jika dia mengambil upah atas bacaaannya itu maka yang demikian diharamkan bagi si pemberi dan si penerima serta tidak ada pahala baginya atas bacaannya itu., seperti yang diriwayatkan oleh Ahmad, Thabrani, Baihaqi dari Abdurrahman bin Syibl bahwasanya Nabi saw bersabda,”Bacalah al Qur’an, amalkanlah…. dan janganlah engkau kekeringan darinya, janganlah terlalaikan darinya, janganlah makan dengannya dan janganlah memperbanyak harta dengannya.” (Fiqhus Sunnah juz I hal 569 Maktabah Syamilah)
Jadi tidak diperbolehkan seseorang membaca al Qur’an bagi si mayit dengan mengharapkan uang atau pembayaran atasnya karena hal itu memunculkan ketidak-ikhlasan terhadap amal tersebut, dan amal ini ditolak oleh Allah swt.
  1. Berkumpulnya masyarakat pada hari-hari tertentu di rumah si mayit untuk melaksanakan acara tersebut.
Ta’ziyah adalah upaya menghibur keluarga si mayit dari rasa berduka dan menyabarkannya atas musibah yang menimpanya dikarenakan kehilangan anggota keluarganya. Ta’ziyah ini hukumnya sunnah sebagaimana sabda Rasulullah saw tatkala beliau melewati seorang wanita yang sedang menangisi anaknya yang meninggal, Beliau mengatakan,”Bertaqwalah kepada Allah dan bersabarlah.” Kemudian beliau bersabda lagi,”Sesungguhnya sabar itu pada saat pertama kali.” (HR. Bukhori dan Muslim) dan juga sabdanya saw,”Tidak seorang mukmin pun datang berta’ziyah kepada saudaranya yang ditimpa musibah, kecuali akan diberi pakaian kebesaran oleh Allah pada hari kiamat.” (HR. Ibnu Majah dan Baihaqi)
Adapun terkait dengan keharusan keluarga dekat si mayit menyediakan makanan dan minuman bagi mereka yang datang dan berkumpul di rumahnya maka dijelaskan didalam hadits-hadits berikut :
  1. Hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Ja’far bahwa Rasulullah saw bersabda,”Buatkanlah untuk keluarga Ja’far makanan karena dia sedang disibukkan oleh satu urusan.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)
  2. Dari Jarir bin Abdullah al Bajaliy mengatakan,”Kami menganggap bahwa berkumpul di rumah keluarga mayit dan membuat makanan sama dengan meratapi mayat.” (HR. Ibnu Majah)
Ibnu Humam dalam Fathil Qodir Syarhul Hidayah mengatakan,”Disunnahkan bagi tetangga dari keluarga yang meninggal dan para kerabatnya yang jauh untuk mempersiapkan makanan bagi mereka yang dapat mengenyangkan mereka sehari semalam. “ (Aunul Ma’bud juz VII hal. 119, Makatabah Syamilah)
Al Qoriy mengatakan,”Pembuatan makanan yang dilakukan oleh keluarga si mayit untuk menyajikan orang-orang yang berkumpul baginya adalah bid’ah makruhah sehingga tepat apa yang diriwayatkan oleh Jarir diatas,’Bahwa kami menganggapnya bagian dari meratapi.” Dan hal ini tampak keharamannya.” (Tuhfatul Ahwaziy juz III hal 54 Maktabah Syamilah)
Tahlilan ini sudah menjadi suatu tradisi dan kebiasaan yang sudah mendarah-daging di masyarakat kita dan sudah berlangsung dari generasi ke generasi, konon ini tradisi yang dilakukan sejak zaman Wali Songo untuk mengganti kebiasaan masyarakat saat itu yang masih bercampur dengan budaya hindu, Wallahu A’lam. Yang pasti, tradisi ini sudah begitu melekat di masyrakat kita.
Sebagian masyarakat bahkan ada yang mengatakan bahwa tahlilan ini adalah bagian dari keutamaan yang harus dilakukan oleh keluarga si mayit demi membantunya di alam barzahnya, mereka merasa ada yang kurang (tidak lengkap) dalam penyelenggaraan pengurusan jenazah jika tidak ada tahlilan. Bahkan di masyarakat kerap kali keluarga yang tidak melakukan tradisi ini menjadi buah bibir dan omongan negative diantara mereka, meskipun hal ini biasanya hanya berlangsung sebentar saja.
Untuk itu dalam menyikapi masalah ini perlu hati-hati dan perlahan namun wajib untuk dilakukan perbaikan kea rah yang ideal. Tindakan perlahan-lahan dalam perubahan ini bukan berarti kita harus menyalahi syari’at atau hukum.
Dari penjelasan beberapa hal yang menjadi isi suatu acara tahlilan diatas bisa disimpulkan :
  1. Bahwa amal-amal yang dilakukan, seperti dzikir, doa, sedekah yang pahalanya untuk dikirimkan kepada si mayit diperbolehkan.Khusus pengiriman pahala bacaan Al Qur’an, —seperti al Fatihah, Yasin atau yang lainnya—kepada si mayit hendaklah dilakukan ikhlas karena Allah, tanpa mengeluarkan atau meminta bayaran.
  2. Penyediaan makanan dan minuman bagi para penta’ziyah atau para hadirin haruslah disiapkan oleh para tetangga atau keluarga jauh dari si mayit tanpa membebankan keluarga dekat si mayit. Dalam penyediaan ini juga harus dihindari kemubadziran dalam penyediaannya.
  3. Adapun berkumpulnya masyarakat di rumah keluarga si mayit bisa dikategorikan kedalam bentuk ta’ziyah namun hendaknya ta’ziyah tidak dilakukan terlalu sering karena akan menambah kesedihan mereka, cukup dilakukan satu kali saja. Acara ini tidak mesti terpaku dengan hari-hari tertentu yang selama ini terjadi di masyarakat serta harus menghindari hal-hal yang dilarang oleh agama.
Disebutkan didalam buku Fiqhus Sunnah bahwa Ahmad dan banyak ulama golongan Hanafi menganut pendapat diatas (bid’ah). Akan tetapi orang-orang terdahulu dari golongan Hanafi berpendapat bahwa tidak ada salahnya duduk bukan di masjid dalam waktu tiga hari untuk ta’ziyah, asal tidak melakukan hal-hal yang terlarang. (Fiqhus Sunnah edisi terjemah juz II hal 203 – 204)

Membaca Doa Qunut
Membaca qunut ini disunnahkan didalam sholat, namun para ulama berbeda pendapat tentang sholat apa saja yang didalamnya dibacakan qunut..
  1. Para ulama madzhab Hanafi berpendapat bahwa qunut dibaca didalam sholat witir. Mereka berpendapat qunut ini dilakukan sebelum ruku’. Qunut tidak dilakukan pada sholat-sholat selain witir kecuali apabila terjadi suatu bencana maka ia dilakukan di sholat-sholat yang dikeraskan bacaannya. Adapun bahwa nabi telah melakukan qunut selama satu bulan saat sholat subuh ini telah dimansukh (dihapus) menurut ijma, dengan apa yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa beliau saw pernah melakukan qunut didalam sholat subuh selam satu bulan kemudian dia saw meninggalkannya.” (HR. al Bazaar, Thabrani dan Ibnu Abi syaibah).
  2. Para ulama madzhab Maliki berpendapat bahwa disunnahkan qunut dibaca dengan suara pelan didalam sholat shubuh saja dan tidak disaat sholat witir dan selainnya karena hal itu makruh. Qunut itu afdhol dilakukan sebelum ruku’ walaupun jika dilakukan setelah ruku’ juga boleh.
  3. Para ulama madzhab Syafi’i berpendapat bahwa disunnahkan qunut itu dilakukan saat i’tidal (bangun dari ruku’) di raka’at kedua sholat subuh, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik bahwa Rasulullah saw melakukan qunut sholat subuh hingga beliau meninggal dunia.” (HR. Ahmad, Abdur Razaq dan Daru Quthni). Dan Umar ra juga melakukan qunut di sholat subuh dan dihadiri oleh para sahabat yang lainnya.
  4. Para ulama madzhab Hambali berpendapat seperti para ulama madzhab Hanafi bahwa qunut disunnahkan didalam sholat witir yang satu rakaat.sepanjang tahun, ia dilakukan setelah ruku’. Dan sebagaimana pendapat Syafi’i bahwa qunut juga dilakukan pada sholat witir di bagian kedua akhir dari bulan Ramadhan, namun jika ada yang melakukan qunut sebelum ruku’ pun tidak masalah, sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa Nabi saw melakukan qunut setelah ruku’.” (HR. Muslim) serta yang diriwayatkan dari Humaid berkata, “Bahwa Anas pernah ditanya tentang qunut didalam sholat shubuh? Dia menjawa,’Kami dahulu melakukan qunut sebelum ruku’ juga sesudahnya.” (HR. Ibnu Majah) – (al Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz 2 hal 1001 -1008)
Jadi menurut pendapat Imam Malik dan Syafi’i bahwa membaca qunut bisa dilakukan didalam sholat shubuh, meskipun pandapat ini tidak sejalan dengan pendapat Imam Abu Hanifah dan Ahmad.
Di sinilah kaum muslimin diminta lebih arif dalam melihat perbedaan dikalangan para ulama tersebut sebagai suatu khazanah ilmiyah yang dimiliki umat ini dengan saling menghargai dan tidak menyerang orang-orang yang berbeda dengannya dalam hal yang furu’iyah seperti diatas.

Qunut saat ada musibah atau bencana
Dalam hal ini, para ulama madzhab Hanafi, Syafi’i dan juga Hambali berpendapat bahwa qunut saat ada bencana ini disyariatkan tapi tidak secara mutlak. Menurut para ulama madzhab Hanafi ia disyariatkan hanya di sholat-sholat yang bacaannya dikeraskan saja. Sedangkan menurut para ulama madzhab lainnya disetiap sholat yang wajib namun para ulama Hambali mengecualikan sholat jum’at karena hal itu sudah cukup dengan khutbahnya. Dianjurkan juga doa qunut tersebut dibaca dengan suara keras. …
Qunut Nazilah ini mengikuti contoh dari Rasulullah saw yang telah melakukan qunut selama satu bulan untuk mendoakan agar pembunuh-pembunuh para sahabat pemnghafal Qur’an di sumur Ma’unah itu dibalas oleh Allah swt.” (HR.Bukhori Muslim) – (al Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz 2 hal 1008)
Wallahu A’lam…

Mengucapkan Selamat Natal



Haruskah Muslim Ucapkan Selamat Natal, Bila Kristen Ucapkan Selamat Idul Fitri?

Salah satu topik yang setiap tahun mencuat di bulan Desember adalah hukum umat Islam mengucapkan Selamat Natal kepada umat kristiani. Dalam pandangan Islam, berdasarkan Al-Qur'an, hadits dan pendapat para ualama, masalah ini sebenarnya sudah final. Para ulama berbagai mazhab baik Hanafi, Maliki, Syafi’i, maupun Hambali, semua sepakat tentang haramnya menghadiri perayaan hari raya orang kafir dan bertasyabuh (menyerupai) acara mereka. (Lihat Iqtidha’ ash-Shiraat al-Mustaqim 2/425 dan Ahkam Ahli adz-Dzimmah 2/227).
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka” (HR. Abu Daud). Dalam Al-Fiqhul-Islami, bentuk-bentuk tasyabuh yang dilarang itu banyak bentuknya, antara lain mencucapkan selamat pada hari raya orang kafir.
Ibnul Qayim rahimahullah berkata: “Mengucapkan selamat kepada syiar agama orang kafir adalah haram berdasarkan kesepakatan. Seperti mengucapkan selamat atas hari raya dan puasa mereka dengan mengatakan ‘Ied Muharak ‘Alaik (hari raya penuh berkah atas kalian) atau selamat bergembira dengan hari raya ini dan semisalnya. Jika orang yang berkata tadi menerima kekufuran maka hal itu termasuk keharaman, statusnya seperti mengucapkan selamat bersujud kepada salib. Bahkan, di sisi Allah dosanya lebih besar dan lebih dimurkai daripada mengucapkan selamat meminum arak, selamat membunuh, berzina, dan semisalnya. Banyak orang yang tidak paham Islam terjerumus kedalamnya semantara dia tidak tahu keburukan yang telah dilakukannya. Siapa yang mengucapkan selamat kepada seseorang karena maksiatnya, kebid’ahannya, dan kekufurannya berarti dia menantang kemurkaan Allah.”
Fatwa ulama terkini juga mengharamkan ucapan Selamat Natal: “ Tidak boleh seorang muslim memberi ucapan selamat kepada orang Kristen pada hari raya mereka karena sesungguhnya dalam perbuatan tersebut terdapat tolong-menolong dalam perbuatan dosa. Dan kita di larang dari perbuatan tersebut, Allah SWT berfirman: “Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” Di dalamnya juga mengandung rasa cinta kepada mereka dan menuntut untuk mencintai mereka serta sebagai syiar dengan meridhai mereka dan syiar-syiar mereka. Ini semua tidak boleh bahkan yang paling wajib adalah menampakkan permusuhan terhadap mereka dan menjelaskan permusuhan terhadap mereka. Karena mereka memusuhi Allah jalla wa ala dan membuat sekutu kepada selain Allah. Mereka juga menjadikan bagi Allah wanita pendamping dan seorang anak” (Fatawa Lajnah Daimah li al-Buhuts al-Ilmiyah wal-Ifta: 3/435).
Meski para ulama secara tegas mengharamkan ucapan Selamat Natal, ada juga orang ber-KTP Islam yang malah mengimbau mengucapkan Selamat Natal kepada orang Kristen. Salah satu argumennya adalah demi toleransi umat beragama, karena umat Kristen juga mengucapkan Selamat Idul Fitri kepada umat Islam yang berlebaran pada hari raya Idul Fitri.
Abdul Moqsith Ghazali, aktivis jaringan liberal berkedok Islam, memuji orang Islam yang mengucapkan Selamat Natal, karena orang Kristen juga mengucapkan Selamat Idul Fitri saat lebaran:
“Umat Islam mengucapkan selamat natal terhadap rekan-rekannya yang beragama Kristen. Begitu juga sebaliknya, umat Kristiani mengucapkan selamat ‘idul fitri terhadap koleganya yang beragama Islam. Sering disaksikan, sejumlah tokoh agama saling berkirim SMS menyatakan selamat ketika hari perayaan agama masing-masing berlangsung. Fenomena ini tak mudah didapatkan di negeri-negeri muslim lain. Bahkan, negeri-negeri muslim lain itu harus belajar pada umat Islam Indonesia atas toleransinya yang tinggi terhadap umat agama lain,” tulisnya di situs JIL.
Moqsith menjadikan ucapan Selamat Natal dan Selamat Idul Fitri sebagai tolok ukur toleransi seorang umat beragama. Logika ini tidak relevan, miring dan generalisasi yang gegabah. Menyejajarkan Idul Fitri dengan Natal adalah tindakan yang keliru, karena keduanya berbeda dan sama sekali tidak sejajar.

Pertama. Idul Fitri adalah hari raya yang diperintahkan dalam Islam sedangkan Natal tidak ada perintahnya dalam kitab suci.
Idul Fitri disyariatkan dalam Al-Qur'an surat Al-Baqarah 185 dan banyak hadits, sedangkan Natal sama sekali tidak ada perintahnya dalam Bibel baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Bahkan umat Kristen abad permulaan tidak pernah merayakan Natal.
Kebiasaan gereja merayakan Natal pada tanggal 25 Desember baru dimulai dalam abad keempat. Sebelum itu Gereja tidak mengenal perayaan Natal tidak tahu kapan, hari apa, bulan apa dan tahun keberapa Yesus dilahirkan. Bibel pun sama sekali tidak memuat data-data tentang Natal Yesus.
Penetapan tanggal 25 Desember sebagai hari kelahiran Yesus juga menyalahi Bibel. Injil Lukas pasal 2 menceritakan bahwa pada waktu Yesus dilahirkan, gembala-gembala sedang berada di padang menjaga kawanan ternak mereka pada waktu malam (ayat 8). Itu berarti bahwa Yesus dilahirkan antara bulan Maret atau April dan bulan November.  (lihat: Buku Katekisasi Perjanjian Baru karya Dr. J.L. Ch. Abineno, hlm 14).
Kedua.    Esensi Idul Fitri dan Natal bertolak belakang 180 derajat. Idul Fitri adalah hari raya setelah berpuasa sebulan penuh selama Ramadhan untuk meneguhkan tauhid dan menggapai ketakwaan kepada Tuhan.
Sedangkan Natal adalah peringatan hari ulang tahun kelahiran Yesus Kristus (Dies Natalis of Jesus Christ) yang dipertuhankan oleh umat Kristen. Dengan kata lain, Natal adalah hari ulang tahun kelahiran tuhan dan juru selamat penebus dosa dalam keyakinan Kristen.
Selamat Idul Fitri di mata Kristen dan Selamat Natal di mata Islam adalah dua hal yang berbeda. Umat Kristen yang mengucapkan Selamat Idul Fitri tidak melanggar doktrin kristiani, sedangkan umat Islam yang mengucapkan Selamat Natal melanggar aqidah Islam.
Ketiga.    Kalau mau menyejajarkan sementara, seharusnya Natal Yesus disandingkan dengan Maulid Nabi Muhammad SAW. Karena memperingati kelahiran Yesus (Natal) dan peringatan kelahiran Nabi Muhammad (Maulid Nabi) sama-sama tidak ada perintahnya dalam kitab suci kedua agama.
Faktanya, umat Kristen tidak mau mengucapkan Selamat Maulid atas kelahiran Nabi Muhammad sebagai nabi yang terakhir, karena dianggap bertentangan dengan doktrin kristiani yang menyakini Yesus sebagai nabi terakhir. Apakah sikap ini bisa dinilai sebagai tindakan yang menjunjung tinggi toleransi dan pluralisme dalam pandangan kaum liberal sekalipun?
Keempat. Jika umat Islam dituding tidak toleran karena tidak mengucapkan Selamat Natal atas kelahiran Yesus yang diyakini sebagai tuhan dan Juru selamat Kristen, maka vonis yang sama juga harus dialamatkan kepada umat Kristen. Umat Kristen juga harus divonis sebagai umat intoleran karena tidak mengucapkan Selamat Maulid Nabi atas kelahiran Muhammad SAW, nabi pamungkas setelah Yesus.

4 Nov 2013

Hari Jum'at



Amalan di Hari Jum’at

Jum’at disebut demikian karena hari tersebut adalah hari berkumpulnya kaum muslimin. Hari Jum’at termasuk hari ‘ied kaum muslimin setiap pekannya. Dari Aus bin ‘Aus, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya di antara hari kalian yang paling utama adalah hari Jum’at. Di hari itu, Adam diciptakan; di hari itu, Adam meninggal; di hari itu, tiupan sangkakala pertama dilaksanakan; di hari itu pula, tiupan kedua dilakukan.” (HR. Abu Daud, An Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad, shahih)

A.      Beberapa Amalan di Hari Jum’at
Di antara amalan di hari Jum’at adalah sebagai berikut:
1.      Terlarang mengkhususkan malam Jum’at dengan shalat dan siang harinya dengan berpuasa.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah mengkhususkan malam Jum’at dengan shalat tertentu dan janganlah mengkhususkan hari Jum’at dengan berpuasa kecuali jika bertepatan dengan puasa yang mesti dikerjakan ketika itu.” (HR. Muslim)
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Dalam hadits ini menunjukkan dalil yang tegas dari pendapat mayoritas ulama Syafi’iyah dan yang sependapat dengan mereka mengenai dimakruhkannya mengerjakan puasa secara bersendirian pada hari Jum’at. Hal ini dikecualikan jika puasa tersebut adalah puasa yang bertepatan dengan kebiasaannya, atau ia berpuasa pada hari sebelum atau sesudahnya, atau bertepatan dengan puasa nadzarnya seperti ia bernadzar meminta kesembuhan dari penyakitnya.” (Syarh Shahih Muslim, 8/19)
2.      Ketika shalat Shubuh di hari Jum’at dianjurkan membaca Surat As Sajdah dan Surat Al Insan.
Dari Abu Hurairah, beliau berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca pada shalat Shubuh di hari Jum’at “Alam Tanzil …” (surat As Sajdah) pada raka’at pertama dan “Hal ataa ‘alal insaani hiinum minad dahri lam yakun syai-am madzkuro” (surat Al Insan) pada raka’at kedua.” (HR. Muslim)
3.      Memperbanyak shalawat kepada Nabi di hari Jum’at.
Dari Abu Umamah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perbanyaklah shalawat kepadaku pada setiap Jum’at. Karena shalawat umatku akan diperlihatkan padaku pada setiap Jum’at. Barangsiapa yang banyak bershalawat kepadaku, dialah yang paling dekat denganku pada hari kiamat nanti.” (HR. Baihaqi dalam Sunan Al Kubro, hasan lighoirihi).
4.      Dianjurkan membaca Surat Al Kahfi di malam atau siang hari Jum’at.
Dari Abu Sa’id Al Khudri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa membaca surat Al Kahfi pada hari Jum’at, maka ia akan disinari oleh cahaya di antara dua jum’at” (HR. Hakim, shahih). Dalam lafazh lainnya disebutkan, “Barangsiapa membaca surat Al Kahfi pada malam Jum’at, maka ia akan mendapat cahaya antara dirinya dan rumah yang mulia (Ka’bah).” (HR. Ad Darimi, shahih mauquf)
5.      Memperbanyak do’a di hari Jum’at.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan tentang hari Jum’at, lantas beliau bersabda, “Di hari Jum’at terdapat suatu waktu yang tidaklah seorang hamba muslim yang ia berdiri melaksanakan shalat lantas ia memanjatkan suatu do’a pada Allah bertepatan dengan waktu tersebut melainkan Allah akan memberi apa yang ia minta.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ada hadits yang menyebutkan tentang kapan waktu mustajab di hari Jum’at yang dimaksud. Hadits tersebut adalah dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Waktu siang di hari Jum’at ada 12 (jam). Jika seorang muslim memohon pada Allah ‘Azza wa Jalla sesuatu (di suatu waktu di hari Jum’at) pasti Allah ‘Azza wa Jalla akan mengabulkannya. Carilah waktu tersebut yaitu di waktu-waktu akhir setelah ‘Ashar.” (HR. Abu Daud). Kata Syaikh Musthofa, “Walaupun sanadnya shahih, namun hadits tersebut memiliki ‘illah (cacat).”
Syaikh Musthofa Al ‘Adawi hafizhohullah berkata, “Sudah sepantasnya seorang muslim berusaha untuk memperbanyak do’a di hari Jum’at di waktu-waktu yang ada secara umum.” (Lihat Fiqh Ad Du’a, hal. 46-48).
6.      Mandi Jum’at
Mandi jum’at ini menurut jumhur (mayoritas) ulama, hukumnya adalah sunnah (bukan wajib). Di antara alasannya adalah dalil, “Barangsiapa berwudhu di hari Jum’at, maka itu baik. Namun barangsiapa mandi ketika itu, maka itu lebih afdhol.” (HR. An Nasai, At Tirmidzi dan Ibnu Majah, shahih).
Al Bahuti Al Hambali mengatakan, “Awal mandi Jum’at adalah ketika terbit fajar dan tidak boleh sebelumnya. Namun yang paling afdhol adalah ketika hendak berangkat shalat Jum’at. Inilah yang lebih mendekati maksud.” Imam Nawawi menyebutkan, “Jika seseorang mandi setelah terbit fajar (Shubuh), mandi Jum’atnya sah menurut ulama Syafi’iyah dan mayoritas ulama.”
Di antara keutamaan mandi jum’at disebutkan dalam hadits, “Barang siapa berwudhu’ kemudian menyempurnakan wudhu’nya lalu mendatangi shalat Jum’at, lalu dia mendekat, mendengarkan serta berdiam diri (untuk menyimak khutbah), maka akan diampuni dosa-dosanya di antara hari itu sampai Jum’at (berikutnya) dan ditambah tiga hari setelah itu. Barang siapa yang bermain kerikil, maka ia telah melakukan perbuatan sia-sia.”(HR. Muslim)

B.       Adakah Shalat Sunnah Qobliyah Jum’at?
Jika kita melihat hadits, begitu pula atsar sahabat disebutkan mengenai adanya empat raka’at shalat sunnah atau selain itu. Namun hal ini bukan menunjukkan bahwa raka’at-raka’at termasuk termasuk shalat sunnah rawatib sebelum Jum’at sebagaimana halnya dalam shalat Zhuhur. Dalil-dalil itu hanya menunjukkan adanya shalat sunnah sebelum Jum’at, namun bukan shalat sunnah rawatib, tetapi shalat sunnah mutlak. Artinya, kita melakukan shalat sunnah dengan dua raka’at salam tanpa dibatasi, boleh dilakukan berulang kali hingga imam naik mimbar.
Dari Salmaan Al Faarisi, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seseorang mandi pada hari Jum’at, lalu ia bersuci semampu dia, lalu ia memakai minyak atau ia memakai wewangian di rumahnya lalu ia berangkat ke masjid, lantas ia tidak memisahkan di antara dua orang (di masjid), kemudian ia melaksanakan shalat sebanyak yang bisa dia lakukan, lalu ia diam ketika imam berkhutbah, melainkan akan diampuni dosa yang diperbuat antara Jum’at yang satu dan Jum’at yang lainnya.” (HR. Bukhari). Ibnu Hajar Al Asqolani berkata, “Adapun shalat sunnah rawatib sebelum Jum’at, maka tidak ada hadits shahih yang mendukungnya.” (Fathul Bari, 2/426)

C.      Shalat Sunnah Ba’diyah Jum’at
Dalam hadits riwayat Muslim disebutkan, “Jika Ibnu ‘Umar melaksanakan shalat Jum’at, setelahnya ia melaksanakan shalat dua raka’at di rumahnya. Lalu ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melakukan seperti itu.”
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian shalat Jum’at, maka lakukanlah shalat setelahnya empat raka’at.” (HR. Muslim)
Kedua hadits tersebut menunjukkan bahwa boleh mengerjakan dua atau empat raka’at. Namun empat raka’at lebih afdhol karena tegas dari sabda Rasul. Dan sebaik-baik shalat sunnah adalah di rumah, baik dua atau empat raka’at yang dilakukan. (Lihat Bughyatul Mutathowwi’, Syaikh Muhammad bin ‘Umar Bazmul, hal. 99)


Semoga Allah memudahkan kita untuk beramal sholih. Wallahul muwaffiq.