PENGGUNAAN QIYAS SEBAGAI DALIL
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: USHUL FIQH II
Dosen Pengampu: Dr. H. Syaifudin Zuhri MAg
Disusun oleh:
1. A. Miftahul Huda (093111001)
2. Abdul Kholik (093111002)
3. Ahmad Amri Mujib (093111009)
4. Muhammad Abdul Nafi’ (093111075)
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2011
PENGGUNAAN QIYAS SEBAGAI DALIL
I. PENDAHULUAN
Dalam Islam, kita mengenal pokok-pokok yang dijadikan landasan atau sumber hukum. Selain al-Qur’an, sunnah dan ijma’, ada pula qiyas (analogi). Sebuah mekanisme untuk mengetahui sebuah hukum dengan cara menganalisis terlebih dahulu permashlahan baru yang timbul dan mengkaitkan permashlahan tersebut dengan dalil-dalil hukum Islam yang ada yaitu al-Qur’an, sunnah dan ijma’. Apa bila tidak ditemukan kejelasan hukumnya, barulah metode qiyas ini digunakan, yakni menerapkan hukum atas permasalahan yang sudah jelas nash-hanya pada masalah baru tersebut setelah diyakini adanya kesamaan dalam ‘illat hukumnya. Kajian ini menjadi penting, dan akan lebih menarik ketika muncul mashlah-mashlah baru (kontemporer) yang secara eksplisit tidak ditemukan jawabannya pada kitab-kitab hukum Islam yang disusun oleh para ulama terdahulu.
Oleh karena qiyas ini didasarkan pada penalaran akal, maka diantara ulama dari berbagai golongan tidak ada satu kata sepakat terhadap otoritas qiyas. Sebagian mereka ada yang mengakui dan menerima bahkan mengharuskannya untuk dijadikan landasan hukum, sementara sebagian yang lain ada yang menolak penggunaannya dan ada yang bersikap di taengah-tangah. Masing masing mereka memiliki alasan serta dasar atas argumen mereka pegangi itu.
Makalah ini sedikit banyak akan memeberikan gambaran seputar dasar-dasar yang menjadikan qiyas dapat dijadikan sebagai landasan, dalil atau metode dalam upaya menyelesaikan masalah-masalah baru yang timbul yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah.
II. RUMUSAN MASALAH
A. Jelaskan pengertian qiyas!
B. Jelaskan rukun qiyas!
C. Jelaskan syarat-syarat qiyas!
D. Bagaimana cara menentukan ilat hukum?
E. Antara hikmah hukum dan illat hukum
III. PEMBAHASAN
A. Pengertian Qiyas
Secara etimologi, qiyas berarti ukuran, atau diartikan mengetahui ukuran sesuatu ( تقدير شيئ بشيئ آخر ), membandingkan atau menyamakan sesuatu dengan yang lain (تسوية شيئ بشيئ آخر).
Adapun secara terminologi terdapat banyak definisi yang dikemukakan oleh para ulama’ ushul mengenai qiyas. Diantaranya ialah sebagai berikut;
1. Muhammad Abdul Gani menyebutkan;
إلحاق أمر غير منصوص على حكمه بأمر آخر منصوص على حكمه لاشتراك بينهما فى علة ذالك الحكم.
Qiyas ialah, menghubungkan sesuatu persoalan yang tidak ada ketentuan hukumnya di dalam nash dengan suatu persoalan yang telah disebutkan oleh nash, karena diantara keduanya terdapat pertautan (persoalan)’illat hukum.
2. Sadr al- Syari’ah, dari golongan ahli ushul Mazhab Hanafi menyebutkn;
تعدية الحكم من الأصل إلى الفرع لعلة متحدة لا تدرك بمجرد اللغة .
Qiyas yaitu memberlakukan hukum ashl kepada hukum furu’ disebabkan kesatuan ‘illat yang tidak dapat dicapai melalui pendekatan bahasa saja.
3. Muhammad Hudlari Beik menmgemukakan;
هو تعدية حكم من الأصل إلى الفرع بعلة متحد .
Qiyas ialah memberlakukan ketentuan hukum yang ada pada pokok (ashl) kepada cabang (persoalan yang tidak disebutkan) karena adanya pertautan ‘illat keduanya.
4. Abdul Wahab Khallaf menyebutkankan bahwa qiyas menurut ulama’ ushul ialah;
إلحاق واقعة لا نص على حكمها بواقعة ورد نصبحكمها في الحكم الذي ورد به النص لتساري الواقعتين في علة هذا الحكم
Qiyas adalah, menyamakan hukum atas kejadian-kejadian baru yang belum ada nash hukumnya dengan kejadian-kejadian yang telah ada nash hukumnya, dalam hal berlakunya hukum nash karena adanya ‘illat hukum yang sama di antara kedua kejadian itu.
5. Mayoritas ulama’ Syafi’iyah mendefinisikan qiyas dengan;
حمل غير معلوم على معلوم فى إثبات الحكم لهما أو نفيه عنهما بأمر جامع بينهما من حكم أو صفة
Qyas ialah, membawa (hukum) yang belum diketahui kepada (hukum) yang diketahui dalam rangka menetapkan hukum bagi keduanya, atau meniadakan hukum bagi keduany, disebabkan sesuatu yang menyatukan keduanya, baik hukum maupun sifat.
Para ulama klasik dan kontemporer dalam mendefinisikan qiyas berdasarkan beberapa pernyataan diatas, sekalipun berbeda-beda redaksinya namun pada intinya saling berdekatan antara yang satu dengan lainnya. Mereka sepakat menyatakan bahwa proses menetapkan hukum melalui qiyas bukanlah berarti menetapkan hukum dari awal (itsbat al-hukmi wa insya’uhu), melainkan hanya menyingkap dan menjelaskan hukumnya (al-kasyfu wa izhhar li al-hukmi) yang ada pada suatu kasus yang belum jelas hukumnya melalui pembahasan mendalam dan teliti terhadap ‘illat dari suatu kasus atau kejadian yang dihadapi. Jika terdapat kesamaan ‘illat dengan hukum yang disebutkan dalam nash, maka hukum atas kasus yang dihadapi itu sebenarnya telah ditetapkan oleh nash, hanya saja hukum tersebut baru ditemukan dengan cara analogi atau qiyas.
B. Rukun Qiyas
Ulama ushul telah sepakat, bahwa qiyas harus berpijak pada empat rukun, yaitu:
a. Adanya pokok disebut dengan (آلأصل), yaitu persoalan yang telah disebutkan hukumnya di dalam nash.
b. Adanya (ألفرع) atau cabang, yaitu suatu persoalan (peristiwa baru) yang tidak ada nash yang menjelaskan hukumnya dan ia akan disamakan hukumnya dengan pokok melalui qiyas.
c. Adanya hikmah (ألحكم) , yakni ketetapan hukum pada pokok dan ia akan diberlakukan sama dengan cabang.
d. Adanya ’Illat ألعلة)) , ialah sifat atau keadaan yang terdapat pada pokok dan ia menjadi dasar pensyari’atan hukum. Pemberlakuan hukum pokok pada cabang bertitik tolak pada kesamaan illat antara keduanya, yaitu pokok dan cabang.
Keempat hukum yang disebutkan diatas merupakan patokan dalam melakukan qiyas. Bagi orang yang akan melakukan qiyas terlebih dahulu harus mengetahui dan meneliti nash dan hukum yang terkandung di dalamnya. Setelah itu meneliti illat yang dipergunakan syar’i sebagai sandaran hukum di dalam nash tersebut dan illat dalam persoalan baru yang tidak disebutkan oleh nash. Jika illat sudah diketahui antara pokok dan cabang, maka segera dilakukan qiyas antara keduanya.
Oleh karena itu, orang yang akan melakukan qiyas dituntut untuk berhati-hati dalam memahami nash dan hukum serta harus cermat dalam meneliti illat yang terdapat pada cabang, apakah ada relevansinya dengan pokok yang dijadikan sebagai sandaran qiyas.
Sebagai contoh, kita hendak mengetahui hukum wajib zakat bagi padi yang sudah dijelaskan di dalam nash, maka kita cari nash sebagai sandaran qiyas. Ternyata ada nabi yang menyebutkan bahwa gandum merupakan salah satu dari empat jenis bahan pokok yang wajib dizakatkan. Hadits tersebut berbunyi:
عن أبى موسى الأشعري ومعاذ أن النبي صلى الله عليه وسلم لاتأخذا في الصدقة إلا من هذه الأصناف الأربعة الشعير والحنطت والزبيب والتمر (رواه الطبرانى والحاكم)
Dari Abu Musa al-Asy’ari dan Mu’az bahwasanya Nabi telah berkata kepada mereka berdua, jangan kamu mengambil zakat (dari penduduk) kecuali terhadap empat jenis: Syair (sejenis gandum), biji gandum, anggur dan kurma.
Di sini gandum adalah pokok, padi adalah cabang. Wajib zakat atas gandum adalah hukum pokok dan makanan pokok adalah illat hukum pokok. Karena padi mempunyai persamaan illat dengan gandum, yaitu makanan pokok, maka padi dikenai wajib zakat sebagaimana halnya gandum.
C. Syarat-syarat Qiyas
Yang dimaksud di sini adalah syarat-syarat pada rukun qiyas. Para ulama usul fiqih mengemukakan bahwa rukun Qiyas yang telah di jelaskan diatas harus memenuhi syarat-syarat tertentu sehingga Qiyas dapat dijadikan dalil-dalil dalam menetapkan hukum. Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut :
1. Syarat-syarat bagi pokok (al-Ashlu)
Sebagai mana disebutkan oleh al-Ghazali persyaratan bagi pokok itu adalah:
a. Pokok hendaklah merupakan hukum yang telah tetap dan tidak mengandung kemungkinan di-naskh (dibatalkan).
b. Ketentuan hukum pada asahlu merupakan ketetapan syariat, karena apa yang ditetapkan dengan jalan rasio atau berdasarkan istilah kebahasaan tidak digolongkan kepada hukum syara’.
c. Ashl bukan merupakan al-far’u dari ashl lainnya, artinya harus mempunyai ilat yang menjelaskan hukum syara’.
d. Dalil yang menetapkan illat pada ashl itu adalah dalil khusus, tidak bersifat umum.
e. Ashl itu tidak berubah setelah dilakukan Qiyas.
f. Hukum ashl tidak keluar dari kaidah-kaidah Qiyas.
g. Hendaklah ada dalil yang memastikan illat pada pokok yang tidak mencakup illat pada cabang secara langsung.
2. Syarat-syarat bagi cabang (al-Fa’ru)
Ada empat syarat yang telah disepakati oleh para ulama usul fiqih yang harus di penuhi oleh al-far’u yaitu:
a. ‘Illat-nya harus sama dengan yang ada pada ashl baik pada dzatnya maupun pada jenisnya. Contoh ‘illat yang sama zat atau materinya ialah mengkiaskan wisky dengan khamr karena keduanya sama-sama memabukan, dan yang memabukan itu sedikit atau banyak apabila diminum hukumnya haram. Contoh ‘‘illat yang jenisnya sama adalah mengqiyaskan wajib qishas atas perbuatan sewenang-wenang atas anggota badan kepada qishas dalam pembunuhan karena keduanya sama-sama perbuatan pidana.
b. Hukum ashl tidak berubah setelah dilakukan qiyas.
c. Hukum far’u tidak mendahului hukum ashl. Contohnya masalah wudlu dan tayamum.
d. Tidak adanya nash atau ijma’ yang menjelaskan far’u itu dengan kata lain cabang adalah perkara baru yang akan dicari ketentuan hukumnya melalui qiyas.
e. Cabang tidak boleh berlawanan dengan nash atau ijma. Qiyas yang bertentangan dengan nas atau ijma disebut oleh para ulama usul fiqih sebagai qiyas fasid.
Dari syarat-syarat yang ditentukan baik oleh ulama usul kontemporer maupun klasik tidak terdapat perbedaan yang prinsipil. Hanya saja menurut al-Ghazali hendaklah hukum yang diberlakukan pada cabang itu adalah ketentuan hukum yang telah ditetapkan oleh nash. Apabila telah ditetapkan pada pokok berdasarkan ‘illat maka demikian pula cabang-cabangnya.
3. Syarat-syarat bagi hukum al-ashl
Menurut para ulama usul fiqih bahwa syarat-syarat hukum ashl adalah sebagai berikut:
a. Tidak bersifat khusus, dalam arti tidak bisa dikembangkan kepada furu’ misalnya tentang kesaksian khuzaimah dalam riwayat dikatakan;
من شهد له خزيمة فحسبه
“kesaksian Khuzaimah sendirian sudah cukup” (HR Abu Daud, Ahmad bin Hambal, al-Hakim, al-Tirmidzi dan al-Nasai’). Hadis ini tidak bisa di jadikan sebagai ashl, karena bersifat khusus. Sedangkan ayat Al-Quran menentukan bahwa sekurang-kurangnya saksi itu adalah dua orang laki-laki atau seorang laki-laki dengan dua orang perempuan.
b. Hukum ashl tidak boleh keluar dari ketentuan-ketentuan qiyas. Maksudnya suatu hukum yang ditetapkan berbeda dengan kaidah qiyas maka hukum lain tidak boleh di qiyaskan kepada hukum itu. Hal ini bisa terjadi dalam dua hal, yaitu:
1. Hukum yang ditetapkan itu tidak bisa dinalar (gharu ma’qulat al-ma’na).
2. Hukum itu merupakan hukum pengecualian yang di syariatkan sejak semula, seperti adanya rukhsah bagi musafir dalam men-jama’ atau meng-qoshar shalat atau berbuka puasa untuk menghilangkan kesulitan.
c. Tidak ada nas yang menjelaskan hukum far’u yang akan ditentukan hukumnya apabila hukum saal mencakup hukum ashl pada satu pihak dan hukum far’u pada pihak lain maka dalil yang mengandung hukum ashl juga merupakan dalil bagi hukum far’u. dalam hal seperti ini tidak diperlukan qiyas.
4. Syarat-syarat bagi ‘illat hukum.
Syarat-syarat yang paling penting bagi ‘illat hukum ialah:
a. ‘Illat hukum hendaknya merupakan sifat yang jelas dalam arti bahwa ‘illat tersebut dapat dipahami oleh indra kitia baik pada pokok maupun pada cabang.
b. ‘Illat hukum hendaknya merupakan sifsat yang akurat dan pasti. Maksudnya ia merupakan sifat yang bisa dipastikan karakternya dan ukuranya serta tidak terdapat hal-hal yang menyalahi atau menolakmya.
c. ‘Illat hukum hendaknya tidak hanyas terdapat pada pokok. Karena ‘illat itu merupakan darsar qiyas ia tidak boleh terbatas pada pokok saja , karena qiyas adalah menyamakan cabang dengan pokok atas cdasar ‘illat hukum.
d. ‘Illat hukum hendaklah merupakan sifat yang pantas, sesuai dan cocok bagi penetapan hukum Syara’ untuk merealisirkan kemaslahatan yang menjadi tujuan hukum.
D. Cara-cara menentukan illat hukum
Cara menentukan illat dengan memenuhi syarat-syarat illat, diantaranya:
1. ‘Illat itu adalah syifat yang nyata yang dapat dicapai oleh panca indra secara lahir. Sebab illat adalah memberikan batasan hukum pada cabang, dengan demikian merupakan sesuatu yang nyata pada ashal dapat terjangkau wujudnya. Misalnya persoalan yang memabukkan yang bisa di rasakan oleh indra pada minuman memabukkan yang lain rasa itu dapat di rasakan secara nyata pada benda lain yang ukuranya dapat di pastikan. Karenanya tidak pantas menentukan illat dengan hal yang tidak jelas.
2. Merupakan sifat yang pasti dan tidak elastis yakni dapat di pastikan berwujudnya pada furu’ dan tidak mudah berubah. Dapat di buktikan wujudnya pada cabang dengan cara membatasi atau lantaran sedikit perbedaan. Sebab dasar qiyas adalah samanya cabang dan asal pada illat hukum asal. Kesamaan illat di tuntut secara pasti dan terbatas sehingga penentuan hukum yang diambil bahwa kejadian itu mempunyai persamaan illat.
3. Merupakan sifat yang munasabah. Yakni ada persesuaian antara hukum dan syifatnya. Dapat diartikan pula adanya dasar asumsi dalam mewujudkan hikmah hukum. Hal ini mengandung arti adanya hubungan hukum dengan sifat itu. Baik sifat itu ada maupun tidak ada. Harus diwujudkan dengan tujuan pembuatan hukum dalam kaitannya dengan hukum yang dibentuk apakah membawa kemaslahatan atau akan menolak mufsadah.
4. Merupakan sifat yang tidak terbatas pada asalnya. Tetapi bisa juga berwujud pada beberapa satuan hukum yang bukan ashal. Sebab pemberian illat hukum ashal itu akan dijangkaukan pada cabang, karena itu jika hukum diberi illat yang tidak terdapat pada selain ashal, maka dengan sendirinya tidak dapat dijadikan sebagai dasar qiyas.
E. Antara hikmah hukum dan illat hukum
Suatu hikmah yang menjadi motifasi dalam menetapkan hukum, beberapa pencapaian kemashlahatan atau menolak kemadhorotan. Misalnya tercapainya berbagai manfaat bagi orang-orang yang melakukan transaksi jual beli, karena jual beli itu diperbolehkan. Terpeliharanya kerukunan yang di akibatkan oleh diharamkannya perzinaan dan terpeliharanya akal manusia disebabkan di haramkannya minuman khamr. Sifat dhahir yang dapat diukur yang sejalan dengan sesuatu hukum dalam mencapai sesuatu kemashlahatan baik berupa manfaat untuk manusia maupun menghindari kemadharatan bagi manusia, karena menolak dan menghindari kemadharatan bagi manusia termasuk suatu kemashlahatan.
Illat dan hikmah memiliki perbedaan. Illat adalah sifat lahir yang kuat dan mengikat hukum yang ditetapkan oleh syar’i (Allah) sebagai tanda hukum. Sedangkan hikmah adalah suatu syifat yang sesuai dengan hukum dan nampak pada hampir semua keadaan, akan tetapi tidak terbatas dan tidak mengikat.
Menurut jumhur fuqaha’, hukum itu tergantung pada ‘illat bukan kepad hikmah. Akan tetapi sengaja dikatakan bahwa hukum ‘illat dengan hikmah (bukan dengan illat) dan kedudukannya sebagai sandaran beberapa qiyash.
Hakekatnya yang menjadi tujuan pembentukan hukum adalah aspek hikmah, dengan kata lain jika semua hukum mengandung hikmah secara pasti dan nyata, maka hikmah itu merupakan illat hukum. Sebab, hikmah itu memberi motifasi pembentukan hukum. Namun lantaran hikamah pada sebagian hukum itu tidak pasti dan tidak nyat, maka sebagai gantinya adalah sifat-sifat yang nyata dan pasti sesuai dengan hikmah tersebut meskipun begitu, menjadikan sifat-sifat tersebut sebagai illat sangatlah tidak di benarkan. Disamping itu hikmah juga tidak ditempatkan pada fungsi hukum melainkan illat itu sebagai tempat dugaan bagi hikma-hikmah. Jika hikmah tersebut tidak ada persesuaian dan kelanjutan sudah barangtentu tidak bisa dijadikan illat hukum. Mendasarkan illat dengan sifat yang tidak sesuai adalah tidak sah, baik sifat-sifat yang berlaku atau telah menjadi kesepakatan yang tidak bisa dinalarkan dengan akal pikiran dalam kaitannya dengan hukum atau hikmah. Juga tidak sah memberikan illat yang sesuai dengan ashalnya, jika tiba-tiba ada illat yang dianggap yang sesuai pada sebagian hukum yang ditetapkan secara pasti sebagai hikmah pembentukan hikmah bukan lantaran fikiran.
IV. KESIMPULAN
a. Qiyas menurut bahasa ialah pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau penyamaan sesuatu dengan yang sejenisnya. Sedangkan menurut istilah qiyas adalah menyamakan hukum atas kejadian- kejadian baru yang belum ada nash hukumnya dengan kejadian-kejadian yang telah ada nash hukumnya, dalam hal berlakunya hukum nash karena adanya ‘illah hukum yang sama di antara kedua kejadian itu.
b. Rukun qiyas ada empat, yaitu: ashal, furu’, hukum ashal dan illat.
c. Syarat- syarat qiyas:
1. Syarat-syarat bagi al-ashlu.
• Pokok hendaklah merupakan hukum yang telah tetap dan tidak mengandung kemungkinan di-naskh (dibatalkan)
• Ketentuan hukum pada asahlu merupakan ketetapan syariat, karena apa yang ditetapkan dengan jalan rasio atau berdasarkan istilah kebahasaan tidak digolongkan kepada hukum syara’
• Ashl bukan merupakan al-far’u dari ashl lainnya, artinya harus mempunyai ilat yang menjelaskan hukum syara’
2. Syarat bagi cabang (furu’)
• ‘Illat-nya harus sama dengan yang ada pada ashl baik pada dzatnya maupun pada jenisnya
• Hukum ashl tidak berubah setelah dilakukan qiyas
• Cabang tidak boleh berlawanan dengan nash atau ijma. qiyas yang bertentangan dengan nas atau ijma disebut oleh para ulama usul fiqih sebagai qiyas fasid.
3. Syarat bagi hukum ashal
• Tidak bersifat khusus, dalam arti tidak bisa dikembangkan kepada furu’
• Hukum ashl tidak boleh keluar dari ketentuan-ketentuan qiyas
4. Syarat bagi illat hukum
• ‘Illat hukum hendaknya merupakan sifat yang jelas dalam arti bahwa ‘illat tersebut dapat dipahami oleh indra kitia baik pada pokok maupun pada cabang.
• ‘Illat hukum hendaknya merupakan sifsat yang akurat dan pasti. Maksudnya ia merupakan sifat yang bisa dipastikan karakternya dan ukuranya serta tidak terdapat hal-hal yang menyalahi atau menolakmya.
d. Cara menentukan illat hukum
‘Illat adalah suatu hal yanmg menjadi latar belakang bagi pensyariatan suatu hukum dengan kata lain, illat adalah suatu hal yang menjadi motif penetapan suatu hukum. Cara penetapan ‘illat hukum dengan memenuhi syarat, diantaranya: Merupakan sifat yang tidak terbatas pada asalnya. Merupakan sifat yang munasabah. Merupakan sifat yang pasti dan tidak elastis.
e. Antara hikmah hukum dan illat hukum
Hikmah hukum yaitu kemashlahatan yang berupa mengambil manfaat atau menghindarkan kemadharatan yang hendak diwujudkan oleh syariat denagn mensyari’atkan hukum itu. Ciri-cirinya tidak bergantung pada hukum. Perbedaan ‘illat hukum dan hikmah hukum yaitu yang terkadung dalam suatu hukum bersifat tidak mengikat, berbeda dengan ‘illat karena suatu hukum yang mengandung ‘illat akan berkisar seputar itu, ada atau tiada. Dalam kaidah fiqh biasa disebut al hukmu yadurru ma’al ‘illat wujudan wa’adaman.
V. PENUTUP
Demikian makalah ini kami buat, dalam pembuatan makalah ini tentunya masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang konstruktif senantiasa kami harapkan demi perbaikan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh, Vol. I, Bandung: PT Tholib, 2007
Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul al-Fiqh, Jakarta: Pustaka Amani, 2003
Muar, Muin, dkk, Ushul Fiqh I, Jakarta: IAIN, 1985
Romli, Muqaranah Mazhab fil Ushul, Jakarta: PT Gaya Media Pratama, 1999
Zahra, Muhammad Abu, Ushul Fiqh, Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1995
3 Jun 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar