Hukum Tahlilan
Tahlilan adalah ritual / upacara
selamatan yang dilakukan sebagian umat Islam, kebanyakan di Indonesia dan
kemungkinan di Malaysia, untuk memperingati dan mendoakan orang yang telah
meninggal yang biasanya dilakukan pada hari pertama kematian hingga hari
ketujuh, dan selanjutnya dilakukan pada hari ke-40, ke-100, kesatu tahun
pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Ada pula yang melakukan tahlilan pada
hari ke-1000. (sumber http://id.wikipedia.org/wiki/Tahlilan)
Tahlilan ini dilakukan dengan
mengucapkan berbagai dzikir dan pembacaan al Qur’an (seperti; surat Al Fatihah
dan Yasin) bahkan tidak jarang juga keluarga si mayit secara khusus mengundang
para qori untuk membacakannya bagi si mayit. Tahlilan kemudian ditutup dengan
doa yang dipimpin oleh tokoh ulama setempat yang di-amini oleh para hadirin.
Ada dua hal yang perlu dilihat dari sudut pandang syari’ah
didalam permasalahan ini :
- Pengiriman pahala amal-amal sholeh kepada si mayit.
Abu Hirairoh meriwayatkan dari
Rasulullah saw bahwa beliau saw bersabda,”Apabila anak Adam meninggal dunia
maka terputuslah amalnya kecuali dari tiga hal : dari sedekah jariyah atau ilmu
yang bermanfaat atau anak sholeh yang mendoakannya.” (HR. Muslim)
Dalam penjelasan tentang hadits ini
Imam Nawawi mengatakan, ”Doa, pahalanya akan sampai kepada si mayit
demikian pula sedekahnya dan keduanya sudah menjadi kesepakatan para ulama.
Demikian halnya dengan pelunasan utang-utangnya. Adapun haji bagi si mayit
diperbolehkan menurut Syafi’i dan para pendukungnya, dan ini masuk dalam bab
pelunasan utang apabila hajinya adalah yang wajib dan apabila yang sunnah serta
telah diwasiatkan oleh si mayit maka ini masuk dalam bab wasiat. Adapun jika ia
mati dan memiliki tanggungan puasa maka yang benar adalah walinya harus
berpuasa baginya, masalah ini telah dibahas didalam bab puasa. Sedangkan bacaan
al Qur’an dan menjadikan pahalanya bagi si mayit, sholat baginya atau yang
sejenis itu maka didalam madzhab Syafi’i dan jumhur ulama bahwa itu semua
tidaklah sampai kepada si mayit..” (Shohih Muslim bi Syarhin Nawawi juz XI
hal 122)
Sedangkan membaca Al Qur’an, ini
merupakan pendapat jumhur ulama dari kalangan Ahlus Sunnah. Imam Nawawi
berkata,”Yang lebih terkenal dan mazhab Syafi’i bahwa hal itu tidaklah
sampai.” Ahmad bin Hambal dan para sahabat Syafi’i
berpendapat bahwa hal itu sampai kepada si mayit. Maka sebaiknya si pembaca
setelah membacanya mengucapkan,”Ya Allah aku sampaikan seperti pahala
bacaanku ini kepada si fulan.”
Di dalam kitab “al Mughni”
oleh Ibnu Qudamah disebutkan: Ahmad bin Hanbal mengatakan,”Segala kebajikan
akan sampai kepada si mayit berdasarkan nash-nash yang ada tentang itu, karena
kaum muslimin biasa berkumpul di setiap negeri kemudian membaca Al Qur’an dan
menghadiahkannya bagi orang yang mati ditengah-tengah mereka dan tidak ada yang
menentangnya, hingga menjadi kespekatan.”
Namun demikian mereka yang
mengatakan bahwa pahala bacaan al Qur’an itu sampai kepada si mayit
mensyaratkan bahwa yang membacanya tidak diperbolehkan menerima upah dari
bacaannya tersebut. Dan jika dia mengambil upah atas bacaaannya itu maka yang
demikian diharamkan bagi si pemberi dan si penerima serta tidak ada pahala
baginya atas bacaannya itu., seperti yang diriwayatkan oleh Ahmad, Thabrani,
Baihaqi dari Abdurrahman bin Syibl bahwasanya Nabi saw bersabda,”Bacalah al
Qur’an, amalkanlah…. dan janganlah engkau kekeringan darinya, janganlah
terlalaikan darinya, janganlah makan dengannya dan janganlah memperbanyak harta
dengannya.” (Fiqhus Sunnah juz I hal 569 Maktabah Syamilah)
Jadi tidak diperbolehkan seseorang
membaca al Qur’an bagi si mayit dengan mengharapkan uang atau pembayaran
atasnya karena hal itu memunculkan ketidak-ikhlasan terhadap amal tersebut, dan
amal ini ditolak oleh Allah swt.
- Berkumpulnya masyarakat pada hari-hari tertentu di rumah si mayit untuk melaksanakan acara tersebut.
Ta’ziyah adalah upaya menghibur
keluarga si mayit dari rasa berduka dan menyabarkannya atas musibah yang
menimpanya dikarenakan kehilangan anggota keluarganya. Ta’ziyah ini hukumnya
sunnah sebagaimana sabda Rasulullah saw tatkala beliau melewati seorang wanita
yang sedang menangisi anaknya yang meninggal, Beliau mengatakan,”Bertaqwalah
kepada Allah dan bersabarlah.” Kemudian beliau bersabda lagi,”Sesungguhnya
sabar itu pada saat pertama kali.” (HR. Bukhori dan Muslim) dan juga
sabdanya saw,”Tidak seorang mukmin pun datang berta’ziyah kepada saudaranya
yang ditimpa musibah, kecuali akan diberi pakaian kebesaran oleh Allah pada
hari kiamat.” (HR. Ibnu Majah dan Baihaqi)
Adapun terkait dengan keharusan keluarga dekat si mayit
menyediakan makanan dan minuman bagi mereka yang datang dan berkumpul di
rumahnya maka dijelaskan didalam hadits-hadits berikut :
- Hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Ja’far bahwa Rasulullah saw bersabda,”Buatkanlah untuk keluarga Ja’far makanan karena dia sedang disibukkan oleh satu urusan.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)
- Dari Jarir bin Abdullah al Bajaliy mengatakan,”Kami menganggap bahwa berkumpul di rumah keluarga mayit dan membuat makanan sama dengan meratapi mayat.” (HR. Ibnu Majah)
Ibnu Humam dalam Fathil Qodir
Syarhul Hidayah mengatakan,”Disunnahkan bagi tetangga dari keluarga yang
meninggal dan para kerabatnya yang jauh untuk mempersiapkan makanan bagi mereka
yang dapat mengenyangkan mereka sehari semalam. “ (Aunul Ma’bud juz VII
hal. 119, Makatabah Syamilah)
Al Qoriy mengatakan,”Pembuatan
makanan yang dilakukan oleh keluarga si mayit untuk menyajikan orang-orang yang
berkumpul baginya adalah bid’ah makruhah sehingga tepat apa yang diriwayatkan
oleh Jarir diatas,’Bahwa kami menganggapnya bagian dari meratapi.” Dan hal ini
tampak keharamannya.” (Tuhfatul Ahwaziy juz III hal 54 Maktabah Syamilah)
Tahlilan ini sudah menjadi suatu
tradisi dan kebiasaan yang sudah mendarah-daging di masyarakat kita dan sudah
berlangsung dari generasi ke generasi, konon ini tradisi yang dilakukan sejak
zaman Wali Songo untuk mengganti kebiasaan masyarakat saat itu yang masih
bercampur dengan budaya hindu, Wallahu A’lam. Yang pasti, tradisi ini sudah
begitu melekat di masyrakat kita.
Sebagian masyarakat bahkan ada yang
mengatakan bahwa tahlilan ini adalah bagian dari keutamaan yang harus dilakukan
oleh keluarga si mayit demi membantunya di alam barzahnya, mereka merasa ada
yang kurang (tidak lengkap) dalam penyelenggaraan pengurusan jenazah jika tidak
ada tahlilan. Bahkan di masyarakat kerap kali keluarga yang tidak melakukan
tradisi ini menjadi buah bibir dan omongan negative diantara mereka, meskipun
hal ini biasanya hanya berlangsung sebentar saja.
Untuk itu dalam menyikapi masalah
ini perlu hati-hati dan perlahan namun wajib untuk dilakukan perbaikan kea rah
yang ideal. Tindakan perlahan-lahan dalam perubahan ini bukan berarti kita
harus menyalahi syari’at atau hukum.
Dari penjelasan beberapa hal yang menjadi isi suatu acara
tahlilan diatas bisa disimpulkan :
- Bahwa amal-amal yang dilakukan, seperti dzikir, doa, sedekah yang pahalanya untuk dikirimkan kepada si mayit diperbolehkan.Khusus pengiriman pahala bacaan Al Qur’an, —seperti al Fatihah, Yasin atau yang lainnya—kepada si mayit hendaklah dilakukan ikhlas karena Allah, tanpa mengeluarkan atau meminta bayaran.
- Penyediaan makanan dan minuman bagi para penta’ziyah atau para hadirin haruslah disiapkan oleh para tetangga atau keluarga jauh dari si mayit tanpa membebankan keluarga dekat si mayit. Dalam penyediaan ini juga harus dihindari kemubadziran dalam penyediaannya.
- Adapun berkumpulnya masyarakat di rumah keluarga si mayit bisa dikategorikan kedalam bentuk ta’ziyah namun hendaknya ta’ziyah tidak dilakukan terlalu sering karena akan menambah kesedihan mereka, cukup dilakukan satu kali saja. Acara ini tidak mesti terpaku dengan hari-hari tertentu yang selama ini terjadi di masyarakat serta harus menghindari hal-hal yang dilarang oleh agama.
Disebutkan didalam buku Fiqhus
Sunnah bahwa Ahmad dan banyak ulama golongan Hanafi menganut pendapat diatas
(bid’ah). Akan tetapi orang-orang terdahulu dari golongan Hanafi berpendapat
bahwa tidak ada salahnya duduk bukan di masjid dalam waktu tiga hari untuk
ta’ziyah, asal tidak melakukan hal-hal yang terlarang. (Fiqhus Sunnah edisi
terjemah juz II hal 203 – 204)
Membaca Doa Qunut
Membaca qunut ini disunnahkan didalam sholat, namun para
ulama berbeda pendapat tentang sholat apa saja yang didalamnya dibacakan
qunut..
- Para ulama madzhab Hanafi berpendapat bahwa qunut dibaca didalam sholat witir. Mereka berpendapat qunut ini dilakukan sebelum ruku’. Qunut tidak dilakukan pada sholat-sholat selain witir kecuali apabila terjadi suatu bencana maka ia dilakukan di sholat-sholat yang dikeraskan bacaannya. Adapun bahwa nabi telah melakukan qunut selama satu bulan saat sholat subuh ini telah dimansukh (dihapus) menurut ijma, dengan apa yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa beliau saw pernah melakukan qunut didalam sholat subuh selam satu bulan kemudian dia saw meninggalkannya.” (HR. al Bazaar, Thabrani dan Ibnu Abi syaibah).
- Para ulama madzhab Maliki berpendapat bahwa disunnahkan qunut dibaca dengan suara pelan didalam sholat shubuh saja dan tidak disaat sholat witir dan selainnya karena hal itu makruh. Qunut itu afdhol dilakukan sebelum ruku’ walaupun jika dilakukan setelah ruku’ juga boleh.
- Para ulama madzhab Syafi’i berpendapat bahwa disunnahkan qunut itu dilakukan saat i’tidal (bangun dari ruku’) di raka’at kedua sholat subuh, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik bahwa Rasulullah saw melakukan qunut sholat subuh hingga beliau meninggal dunia.” (HR. Ahmad, Abdur Razaq dan Daru Quthni). Dan Umar ra juga melakukan qunut di sholat subuh dan dihadiri oleh para sahabat yang lainnya.
- Para ulama madzhab Hambali berpendapat seperti para ulama madzhab Hanafi bahwa qunut disunnahkan didalam sholat witir yang satu rakaat.sepanjang tahun, ia dilakukan setelah ruku’. Dan sebagaimana pendapat Syafi’i bahwa qunut juga dilakukan pada sholat witir di bagian kedua akhir dari bulan Ramadhan, namun jika ada yang melakukan qunut sebelum ruku’ pun tidak masalah, sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa Nabi saw melakukan qunut setelah ruku’.” (HR. Muslim) serta yang diriwayatkan dari Humaid berkata, “Bahwa Anas pernah ditanya tentang qunut didalam sholat shubuh? Dia menjawa,’Kami dahulu melakukan qunut sebelum ruku’ juga sesudahnya.” (HR. Ibnu Majah) – (al Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz 2 hal 1001 -1008)
Jadi menurut pendapat Imam Malik dan Syafi’i bahwa membaca
qunut bisa dilakukan didalam sholat shubuh, meskipun pandapat ini tidak sejalan
dengan pendapat Imam Abu Hanifah dan Ahmad.
Di sinilah kaum muslimin diminta lebih arif dalam melihat
perbedaan dikalangan para ulama tersebut sebagai suatu khazanah ilmiyah yang
dimiliki umat ini dengan saling menghargai dan tidak menyerang orang-orang yang
berbeda dengannya dalam hal yang furu’iyah seperti diatas.
Qunut saat ada musibah atau bencana
Dalam hal ini, para ulama madzhab Hanafi, Syafi’i dan juga
Hambali berpendapat bahwa qunut saat ada bencana ini disyariatkan tapi tidak
secara mutlak. Menurut para ulama madzhab Hanafi ia disyariatkan hanya di
sholat-sholat yang bacaannya dikeraskan saja. Sedangkan menurut para ulama
madzhab lainnya disetiap sholat yang wajib namun para ulama Hambali
mengecualikan sholat jum’at karena hal itu sudah cukup dengan khutbahnya.
Dianjurkan juga doa qunut tersebut dibaca dengan suara keras. …
Qunut Nazilah ini mengikuti contoh dari Rasulullah saw yang
telah melakukan qunut selama satu bulan untuk mendoakan agar pembunuh-pembunuh
para sahabat pemnghafal Qur’an di sumur Ma’unah itu dibalas oleh Allah swt.”
(HR.Bukhori Muslim) – (al Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz 2 hal 1008)
Wallahu A’lam…