TANTANGAN PENDIDIKAN ISLAM DI
INDONESIA
Membentuk ulama yang berpengetahuan
dalam dan berpendirian luas serta mempunyai semangat dinamis. Hanya ulama yang
seperti itulah yang bisa menjadi pendidik yang sebenarnya dalam masyarakat.”
(Kutipan Pidato Hatta berjudul “Sifat Sekolah Tinggi Islam”
saat pembukaan STI di Yogyakarta 10 April 1946)
saat pembukaan STI di Yogyakarta 10 April 1946)
Pendidikan Islam di Indonesia selalu
dihadapkan pada tantangan-tantangan serius yang membutuhkan perhatian ekstra
dari pemerintah dan kalangan yang berkecimpung di dunia pendidikan. Dewasa ini,
pendidikan Islam setidaknya menghadapi empat tantangan pokok. Pertama,
konformisme kurikulum dan sumber daya manusia; kedua, implikasi perubahan
sosial politik; ketiga, perubahan orientasi; dan keempat, globalisasi. Semua
tantangan pendidikan Islam tersebut terkait satu sama lain.
Musuh Kreativitas
Konformisme, atau cepat merasa puas dengan keadaan yang ada, merupakan tantangan pendidikan di manapun. Konformisme adalah musuh utama kreatifitas. Padahal, kreatifitas sangat dibutuhkan untuk terus memperbarui keadaan pendidikan. Jepang yang dikenal dengan sistem pendidikan yang ketat justru sejak 1980-an meninjau ulang pendidikan mereka yang dianggap terjebak konformitas. Kreatifitas yang merupakan “roh” pendidikan dinilai sudah lama tercerabut sehingga hal itu sangat mengkhawatirkan pemerintah Jepang.
Konformisme, atau cepat merasa puas dengan keadaan yang ada, merupakan tantangan pendidikan di manapun. Konformisme adalah musuh utama kreatifitas. Padahal, kreatifitas sangat dibutuhkan untuk terus memperbarui keadaan pendidikan. Jepang yang dikenal dengan sistem pendidikan yang ketat justru sejak 1980-an meninjau ulang pendidikan mereka yang dianggap terjebak konformitas. Kreatifitas yang merupakan “roh” pendidikan dinilai sudah lama tercerabut sehingga hal itu sangat mengkhawatirkan pemerintah Jepang.
Pendidikan Islam yang sudah
“tertinggal” (dibandingkan pendidikan yang berorientasi sekuler) malah juga
terjebak pada konformisme. Ini tentu suatu kondisi yang lebih paradoks.
Konformisme biasanya terjadi pada suatu kondisi yang sudah mapan (established),
akan tetapi hal ini justru terjadi pada konteks pendidikan Islam yang bergerak
lamban. Bisa dibayangkan, implikasi lebih lanjut dari konformisme pendidikan
Islam.
Kurikulum yang kini dijalankan di
lembaga pendidikan Islam, khususnya pada pendidikan dasar dan menengah, masih
banyak menggunakan model lama. Pendidikan dasar agama masih menjadi andalan,
sebagai bekal mengajarkan pendidikan agama lebih lanjut kepada masyarakat, akan
tetapi hal ini saja tidak cukup. Harus diikuti dengan bekal pengetahuan lainnya
yang kontekstual dengan perkembangan sosial. Sekalipun di lembaga tertentu ada
pembaruan kurikulum, namun sifatnya masih parsial. Secara keseluruhan kurikulum
pendidikan Islam masih konservatif.
Implikasinya sangat serius ketika
para lulusannya (SDM) menghadapi perubahan di luar dunia pendidikan mereka.
Dunia ini jauh lebih kompleks daripada yang mereka pelajari dan bayangkan
selama berada di tempat belajar-mengajar tadi. Pluralitas sosial dan
kemanusiaan di tengah masyarakat membuat mereka gagap. Indonesia yang mereka
diami rupanya sebuah entitas yang berwarna. Kebangsaan ini rupanya tak bisa
dilihat secara monolitik, misal dari sudut pandang umat Islam saja. Di sisi lain,
kelompok sosial yang merupakan produk pendidikan sekuler, dan mereka umumnya
non-muslim, justru lebih adaptif, responsif, serta menguasai tren iptek.
Perubahan sosial politik ikut
memberi ‘warna’ pendidikan Islam. Label sebagai institusi pendidikan Islam ikut
mempengaruhi persepsi publik terhadap posisi lembaga pendidikan Islam dalam
konteks perubabahn sosial politik. Ironisnya, lembaga pendidikan Islam kerap
dijadikan “kendaraan” oleh para petualang politik mencari dukungan. Setelah
dukungan suara didapatkan, kenyataannya lembaga pendidikan Islam tadi tetap
tidak banyak berubah. Realitas seperti ini dikhawatirkan memandulkan gerak
pendidikan agama. Visi pendidikan Islam akhirnya sulit berubah dari lembaga
yang hanya mendidik para calon ulama, dalam konotasinya yang ortodoks.
Paradoks lainnya berkaitan dengan
stigma baru yang mendera lembaga-lembaga pendidikan agama. Dewasa ini lembaga
pendidikan Islam mendapat citra baru, yakni mengajarkan radikalisme. Padahal
kalau diperiksa tidak semua pesantren mengajarkan pendidikan dengan orientasi
yang mengarahkan peserta didik berbuat radikal. Islam agama damai dan
menyejukkan (hanif) mesti tetap menjadi pesan pokok pengajaran mulai dari
tingkat ibtidaiyah sampai perguruan tinggi. Radikalisme dalam pengajaran biasanya
memunculkan radikalisme dalam tindakan.
Perubahan Orientasi
Perubahan orientasi pendidikan Islam sudah menjadi keniscayaan dan tuntutan zaman, terlebih di era globalisasi dewasa ini. Orientasi dari sekedar mendidik mereka untuk memahami ilmu (pengetahuan) agama an sich haruslah diubah menjadi paham terhadap ilmu agama sekaligus ilmu sosial, ilmu humaniora dan ilmu alam. Ilmu agama dan “ilmu duniawi” harus konvergen.
Perubahan orientasi pendidikan Islam sudah menjadi keniscayaan dan tuntutan zaman, terlebih di era globalisasi dewasa ini. Orientasi dari sekedar mendidik mereka untuk memahami ilmu (pengetahuan) agama an sich haruslah diubah menjadi paham terhadap ilmu agama sekaligus ilmu sosial, ilmu humaniora dan ilmu alam. Ilmu agama dan “ilmu duniawi” harus konvergen.
Sayangnya lembaga pendidikan Islam
terlalu lambat menyadari ketertinggalan ini. Tokoh pendidikan kita terlalu
berpikir konservatif dan masih terjebak pada dikotomi antara pendidikan
agama-pendidikan umum. Padahal dikotomi itu justru mematikan kreatifitas.
Untunglah, dalam batas tertentu sebagian kecil yang berlatar pendidikan
“sekuler” relatif lebih cepat menyadari kejumudan. Tidak heran, dewasa ini di
perguruan tinggi umum diajarkan pula ekonomi Islam, sosiologi agama (Islam),
psikologi Islam, antropologi agama (Islam) dan lainnya.
Pada tahun 1980-an, cendekiawan
Soedjatmoko sudah mewanti-wanti bangsa Indonesia memasuki abad 21. Dikatakan,
pendidikan menjadi “tumpuan” harapan bangsa Indonesia untuk bersaing di
kompetisi global. Ketika negara maju terus melakukan pembaruan terhadap sistem
pendidikan mereka, maka ironis sekali melihat dunia pendidikan Indonesia tidak
banyak melakukan terobosan, sekalipun kecil. Kualitas SDM yang dibutuhkan
sejatinya adalah SDM yang punya kualifikasi dan visi global. Secara
personal, mantan Rektor Universitas PBB itu mengatakan, SDM masa depan, adalah
SDM yang tidak hanya menguasai satu dua disiplin dan keahlian tertentu,
melainkan beberapa bidang ilmu dan keahlian sekaligus.
Sekalipun ditujukan ke dunia
pendidikan nasional, tetapi peringatan Koko (panggilan Soedjatmoko) di atas
terasa sangat kontekstual dengan kondisi pendidikan Islam. Terhadap pendidikan
nasional (sekuler) saja, sudah muncul keprihatinan yang mendalam, karena tidak
ada terobosan yang begitu dahsyat setelah lebih 60 tahun merdeka. Apalagi
terhadap pendidikan Islam. Padahal, ribuan bahkan jutaan SDM Indonesia kini
dididik di lembaga pendidikan Islam dari tingkat sekolah dasar sampai
pascasarjana.
Seperti dikutipkan di awal tulisan
ini, tokoh nasionalis Bung Hatta juga punya pandangan menarik soal pendidikan
Islam yang patut kita renungkan lagi. Ia mengutarakan nasehatnya malah sejak
awal Republik, tetapi tidak pernah diaplikasikan secara serius. Sang
proklamator mengatakan, agama hidup di masyarakat, sedangkan masyarakat itu
sendiri senantiasa mempunyai dinamika dan perubahan. Oleh sebab itu, para
pendidik agama pun harus bisa menangkap dan tanggap terhadap “roh” perubahan,
agar Islam senantiasa compatible dengan perkembangan masyarakat.
Masalahnya, sebagian lembaga pendidikan Islam
masih “alergi” dengan filsafat, bahkan ilmu sosial lainnya yang dituding
sebagai bentuk hegemoni Barat di bidang ilmu pengetahuan. Sayangnya, kalangan
Islam sendiri tidak bisa melakukan dekonstruksi atas ilmu sosial Barat. Walau
tidak seluruhnya, akan tetapi secara umum kondisi ini menunjukkan bahwa
pendidikan Islam Indonesia mengalami kejumudan serius.