Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

About

28 Apr 2011

Ilmu Kebudayaan Jawa

INTERELASI NILAI JAWA DAN ISLAM
DALAM BIDANG EKONOMI

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Islam dan Kebudayaan Jawa
Dosen Pengampu: Bu Rohmah









Disusun Oleh:


Disusun oleh:
1. Ahmad Miftahul Huda (093111001)
2. Abdul kholik (093111002)
3. Abdul Rohman (093111003)
4. Abdurrohamn Sidiq (093111004)


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2010



I. PENDAHULUAN

Sebagai agama dakwah, Islam tidak berhenti dan berada diluar realitas kehidupan manusia, tetapi masuk keseluruh segi dalam kehidupannya. Keberadaan Islam dalam kehidupan masyarakat muslim, baik individual atau sosial bersifat unik.
Hal ini karena Islam tidak berusaha membentuk budaya yang monolitik. Nyatanya bahwa masyarakat di suatu wilayah dengan yang lainnya tidak selalu memiliki kebudayaan yang seragam. Islam telah memberi peluang kepada para pemeluknya untuk memelihara dan mengembangkan kebudayaan masing-masing, sepanjang tidak menyalahi prinsip universalnya.
Sementara itu, persoalan ekonomi sebagai bagian dari bidang realitas kehidupan masyarakat jawa cukup menarik untuk diperbincangkan sehubungan dengan usaha sungguh-sungguh bangsa Indonesia untuk meningkatkan efisiensi nasional dalam rangka memperbaiki produk-produk Indonesia di pasar global yang semakin terliberalisasikan.

II. RUMUSAN MASALAH
A. Pengertian dan Prinsip Ekonomi
B. Tradisi Masyarakat Jawa yang berkaitan dengan Ekonomi
a. Slametan
b. Golek Pesugihan
C. Ajaran Keseimbangan Nilai Jawa dan Islam

III. PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Prinsip Ekonomi
Kata ekonomi berasal dari bahasa Yunani, aikonomia. Kata tersebut barasal dari dua kata oikos yang berarti rumah atau rumah tangga. Dan nomois yang berarti aturan. Dengan demikian kata ekonomi berarti aturan rumah tangga.
Secara sederhana kata ekonomi diartikan sebagai kegiatan manusia atau masyarakat untuk memepergunakan unsur-unsur produksi dengan sebaik-baiknya guna untuk memenuhi berbagai kebutuhan. Oleh karena itu, proses ekonomi meliputi proses produksi barang dan jasa, penukarannya dan pembagiannya, antara golongan-golongan masyarakat dan pemakainya (konsumsi) dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam Alqur’an Allah memberi beberapa contoh mengenai ajaran-ajaran para rasul dimasa lalu dalam kaitannya dengan masalah-masalah ekonomi yang menekankan bahwa perilaku ekonomi merupakan salah satu bidang perhatian agama. Dalam Alqur’an terdapat dalam surat Ar-ruum ayat 39 :
       ••                
“Dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada harta manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).”
Dalam kegiatan ekonomi manusia mempunyai prinsip-prinsip yang bersifat universal, yang berarti prinsip ekonomi berlaku dimana-mana. Prinsip ekonomi harus diberlakukan kapan saja dan di manapun berada agar semua yang diberikan Tuhan (peparinge Pangeran) dapat disyukuri dan dimanfaatkan sebaik-baiknya.
Prinsip ekonomi adalah usaha dengan pengorbanan sekecil-kecilnya untuk mendapatkan barang (benda dan jasa) sebanyak-banyaknya.
Prinsip ekonomi pada dasarnya adalah prinsip rasional yang diterapkan dalam aspek kehidupan ekonomi, dan terjelma dalam istilah efektif dan efesien. Efektif berarti input atau potensi apa saja yang ada dan dimiliki hendaknya dipergunakan untuk mencapai dan mendapatkan output berupa hasil, pendapatan, keuntungan, faedah dan lain-lainnya secara maksimal. Efisien berarti untuk mencapai output tersebut hendaknya digunakan faktor produksi, bahan, waktu, pengorbanan, atau input yang minimal. Dengan kata lain, efektif adalah memaksimalkan output sedangkan efisien adalah minimalisasi input.
Dalam masyarakat Jawa, Prinsip ekonomi dapat dijumpai dalam istilah-istilah atau konsep-konsep seperti cucuk, pakoleh, ngirit, ghutuk, lumayan dan lain sebagainya. Sementara itu istilah Jawa yang memiliki arti berlawanan dari istilah-istilah tersebut di atas antara lain boros, tanpa pethung, awur-awuran, ya ben, dipangan Bethara kala, dan lain sebagainya. Dengan mendalami secara sungguh-sungguh kebudayan Jawa, maka akan dirasakan bahwa prinsip-prinsip ekonomi masyarakat Jawa telah cukup tinggi nilainya, hal ini dapat kita jumpai dari sifat-sifat rasional dan prinsip ekonomi yang dapat ditemukan dalm kata kunci diantaranya ora ilok dan kuwalat.
Ora ilok adalah istilah yang berarti bertentangan dengan prinsip rasional, akal sehat, atau tidak logis. Meludahi sumur dan menduduki bantal misalnya adalah tindakan yang bertentangan dengan prinsip rasional. Hal ini karena air sumur disediakan untuk kebutuhan minum orang banyak sedangkan bantal adalah landasan kepala sewaktu tidur.
Kuwalat adalah kata kunci yang berarti bertentangan dengan moral dan nilai moral yang dijunjung tinggi dalam masyarakat. Tidak berani terhadap orang tua, melangkahi dan melompati kuburan orang tua dan tidak merawat benda pusaka akan dikatakan kuwalat oleh pendukung dan penganut budaya Jawa.
Dengan pemahaman mendalam terhadap kenyataan tersebut secara mendasar, kita bisa mengetahui bahwa masyarakat Jawa telah memiliki prinsip ekonomi atau prinsip rasional yang cukup tinggi dan telah menunjukkan salah satu prinsip ekonomi yang efisien.

B. Tradisi Masyarakat Jawa yang berkaitan dengan Ekonomi
a. Slametan
Di pusat system agama jawa, terdapat suatu ritus yang sederhana, formal, jauh dari keramaian dan apa adanya, itulah selametan. Masyarakat jawa, sebagai komunitas yang telah ter-Islamkan memang memeluk agama Islam. Namun dalam prakteknya, pola-pola keberagaman mereka tidak jauh dari pengaruh unsur keyakinan dan kepercayaan pra-Islam, yakni animisme-dinamisme dan Hindu Budha.
Salah satu adat istiadat, sebagai ritual keagamaan yang paling populer di masyarakat jawa adalah selametan, yaitu ritual yang telah mentradisi dikalangan masyarakat jawa yang dilaksanakan untuk peristiwa penting dalam kehidupan seseorang. Peristiwa penting tersebut seperti kelahiran, kematian, pernikahan, pembangunan rumah, permulaan bajak sawah, atau panen, sunatan, perayaan hari besar, dan masih banyak lagi peristiwa-peristiwa yang dihiasi dengan tradisi slametan.
Slametan diyakini sebagai sarana spiritual yang mampu mengatasi segala kritis yang melanda serta bisa mendatangkan berkah bagi mereka. Adapun objek yang dijadikan sarana pemujaan dakam slametan adalah ruh leluhur yaitu para nenek moyang.
Secara umum, tujuan slametan adalah untuk menciptakan keadaan sejahtera aman dan bebas dari gangguan makhluk yang nyata ( suatu keadaan yang disebut slamet ). Walaupun kata slamet dapat digunakan untuk orang yang sudah meninggal ( dalam pengertian dislametkan ), ada yang mengatakan bahwa kata slamet tidak layak upacara dalam pemakaman dan menggunakannya berarti keliru. Alasan utama penyelenggaraan slametan meliputi perayaan siklus hidup, menempati rumah baru, dan panen dalam rangka memulihkan harmoni setelah perselisihan suami istri atau dengan tetangga untuk menangkal akibat mimpi buruk, dan paling umum yaitu memenuhi nadzar atau janji, misalnya bernadzar akan menyelenggarakan slametan kalau anaknya sembuh dari sakit, tetapi tidak ada alasan lebih kuat dari pada keinginan mencapai keadaan yang aman dan sejahtera.
Slametan yang dilakukan sebelum usaha mulai merupakan ajaran perencanaan agar semua input dan unsur-unsur menejemen dipertimbangkan. Sedangkan slametan yang dilakukan setelah atau akhir melakukan usaha ekonomi mengajarkan tentang iman kepada tuhan (terutama dengan ucapan syukur kepada tuhan atas segala karunia dan rizqi yang telah dilimpahkannya) dan juga merupakan ajaran perencanaan untuk perawatan dan penggunaan.
Nilai-nilai jawa kiranya bertemu dalam media slametan yang memuat nilai-nilai ketentuan. Kenyataan bahwa upacara slametan telah disentuh dengan ajaran islam, seperti masuknya unsur dzikir, penentuan waktu yang didasarkan pada hari-hari besar islam yang menyebabkan efek slametan dapat menimbulkan getaran emosi keagamaan. Maka pertemuan antar budaya jawa dan islam melalui slametan menggariskan prinsip ekonomi pula.
b. Golek Pesugihan
Rumus neng-ning-nung-nang mempunyai hubungan yang signifikan dengan masyarakat Jawa antara lain dengan adanya tradisi golek pesugihan. Kita dapat menjumpai tempat-tempat yang dikeramatkan dan dianggap bermanfaat untuk mencari ketenangan dalam rangka mencapai inspirasi, intuisi, dan aspirasi untuk memulai suatu pekerjaan. Tempat-tempat yang dimaksud antara lain seperti gunung Srandil di Cilacap, Kemukus di Sragen, Kawi di Malang dan Parang Tritis di Bantul.
Makna pentignya bukan pada tempat itu sendiri tapi dari segi ekonomi tempat itu memberikan inspirasi, intuisi, dan aspirasi untuk suatu usaha dan memberikan daya dorong yang kuat untuk belajar dan bekerja dengan sungguh-sungguh sehingga seorang sukses dalam melakukan usahanya.
Di samping tempat-tempat golek pesugihan tersebut dalam masyarakat Jawa juga sering kita temui istilah golek pesugihan bulus jinbun yang memberi petunjuk bahwa dalam usaha akan berhasil bila dilakukan secara putih ( tidak melakukan penipuan ) dan jujur. Juga kita dapat temukan istilah golek pesugiha Jaran pinoleh yang memuat nilai-nilai positif yaitu menunjukkan bahwa seseorang yang ingin melakukan usaha ekonomi harus melihat ke kanan dan ke kiri untuk mencari sebab mengapa seseorang dalam usahanya bisa berkembang dan yang lain usahanya gagal.
Dalam kaitannya dengan bidang ekonomi, Meditasi dan Semedi di tempat-tempat golek pesugihan dapat memberikan inspirasi pelakunya untuk melakukan usaha-usaha tertentu dan membangkitkan kesiapan mental untuk menghadapi berbagai kemungkinan dan kendala. Disamping itu juga seseorang yang akan melakukan usaha ekonomi semakin tersadarkan bahwa pekerjaan-pekerjaan ekonomi yang dipilihnya menuntut tanggung jawab penuh.
Meditasi dan Semedi yang berhubungan langsung dengan perilaku orang Jawa sebenarnya adalah bagian penting dari upaya menyatukan diri dengan Tuhan. Sebagaimana tradisi kaum sufi yang biasanya juga melakukan tradisi penyatuan diri manusia dengan Tuhan yang memungkinkan manusia dapat memperoleh pengetahuan hakikat yang mengatasi pengetahuan empiris. Dengan demikian ada titik singgung dan titik temu antara meditasi dan semedi dengan tradisi para Sufi.

C. Ajaran Keseimbangan Nilai Jawa dan Islam
Ajaran keseimbangan yang diajarkan oleh Islam terlihat pada doktrin bahwa kekayaan mempunyai fungsi sosial. Diantara dalil-dalil yang menunjukkan fungsi sosial tersebut adalah seperti dalam Al Quran Surat al-A’raaf ayat 31.
                
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”
Surat Az-Zukhruf ayat 32.
        •                    
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? kami Telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami Telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan".
Surat Adz-Zariyaat ayat 19.
     
“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian. (Orang miskin yang tidak mendapat bagian Maksudnya ialah orang miskin yang tidak meminta-minta)”.
Di samping itu al-Qur’an juga dengan tegas melarang penumpukan harta benda dalam arti penimbunan ( QS.104 : 2 ). melarang orang mencari kekayaan dengan jalan yang tidak benar ( QS. 2 : 188 ). Menganjurkan agar penghasilan yang diperoleh dari hasil usaha dibelanjakan secara baik ( QS. 2 : 267 ) dan dalil-dalil yang lain.
Dalam berbagai dalil di atas terasa bahwa kepemilikan harta bukanlah yang utama tetapi dorongan untuk mengendalikan diri dan tidak mengumbar pemenuhan kebutuhan secara individual semata adalah sangat utama. Dalam hal ini tersirat ajaran bahwa Islam mengajarkan dan menggariskan prinsip-prinsip pemenuhan kebutuhan “sekedar kebutuhan” sambil tetap menjaga keseimbangan dengan yang lain. Tidak hanya dalam bidang konsumsi saja tetapi juga pemenuhan unsur produksi. Dalam Islam ada larangan eksploitasi kekayaan alam yang dapat mengganggu harmonisasi kebutuhan generasi sekarang dan yang akan datang. Menurut ajaran Islam pengendalian dalam hal produksi dan konsumsi bertujuan agar supaya aspek sosial dari kekayaan yang dimiliki dapat benar-benar fungsional.
Persoalan pengendalian diri merupakan persoalan yang sama-sama mendapatkan perhatian dalam masyarakat yang mendukung budaya Jawa dan ajaran Islam, dalam masyarakat Jawa sering digunakan istilah Bethara Kala yang merupakan tokoh dalam tradisi Jawa dan berfungsi sebagai simbolisasi waktu. Bethara Kala ini ketika dapat ditundukkan sebenarnya dapat berarti bahwa sang waktu telah dapat dikuasai. Sebaliknya apabila waktu tidak dapat dikuasai dalam arti tidak menghargai waktu dan memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya maka hal ini disimbolkan dengan di makan Bethara Kala. Siapa saja yang ternyata di makan Bethara Kala berarti telah mengabaikan unsure-unsur input dalam proses produksi.
Tokoh Bethara Kala jelas mengajarkan kemampuan mengendalikan diri untuk meminimalkan input dan memaksimalkan output, termasuk berkaitan dengan penggunaan waktu, kesempatan, dan peluang yang ada. Prinsip-prinsip ekonomi yang universal menemukan ungkapannya secara simbolik dalam kebudayaan Jawa. Penjiwaan terhadap prinsip ekonomi dalam masyarakat Jawa terjadi secara meresap sambil menghargai dan menjunjung tinggi kebudayaan Jawa. Semakin tinggi tingkat penghayatan pendukung kebudayaan Jawa semakin tinggi pula penjiwaannya terhadap prinsip ekonomi.

IV. KESIMPULAN
Kata ekonomi berasal dari bahasa Yunani Aikonomia, kata tersebut terdiri dari dua kata Oikos yang berarti rumah atau rumah tangga dan Nomois yang berarti aturan. Dengan demikian ekonomi berarti aturan rumah tangga.
Ekonomi pada umumnya di definisikan sebagaimana kajian tentang perilaku manusia dalam hubungannnya dengan pemanfaatan sumber-sumber produktif yang langka untuk memproduksi barang dan jasa serta mendistribusikannya untuk dikonsumsi.
Diantara tradisi masyarakat jawa yang berkaitan dengan masalah ekonomi:
 Slametan : ritual komunal yang telah mentradisi dikalangan masyarkat jawa yang dilaksanakan untuk peristiwa penting dalam kehidupan seseorang.
 Golek pesugihan : bersemedi di tempat-tempat yang dikeramatkan dan dianggap bermanfaat untuk mencari ketenangan dalm rangka mencapai inspirasi, intuisi dan aspirasi untuk memulai suatu pekerjaan.
V. PENUTUP
Demikian pembuatan makalah ini, semoga ada pelajaran yang bermanfaat untuk kami khususnya dan untuk kita semua. Kami menyadari bahwa masih banyak kekeliruan dalam penulisan makalah ini, untuk itu kami harapkan kritik dan saran teman-teman.
DAFTAR PUSTAKA
Ciptoprawito, Abdullah. 1986, Filsafat Jawa, Balai Pustaka, Jakarta.
Darori,Amin, H.M. 2000, Islam dan Budaya Jawa, Gama Media,Yogyakarta, Cet I.
Junus, Mahmud. Prof.H. 1997, Tarjamah Al-Qur’an Al-Karim, PT.Al-Ma’arif,Bandung.
Kaft, Monzer, 1995. Ekonomi islam, Yogyakarta : Pustaka pelajar.
Kamajaya,Harkono, 1995, Kebudayaan jawa perpaduan Islam, Yogyakarta: Ikatan penerbit Indonesia.
Khalil, Ahmad, 2008, Islam jawa, Yogyakarta : Sukses.
Prawiranegara, Sjafruddin. 1967, Sistem Ekonomi Islam, Jakarta.
Suroso, Bc.Hk.dkk. 1994, IPS Ekonomi, CV. Tiga Serangkai,Surakarta, Cet VI.

0 komentar: