Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

About

25 Sep 2013

tantangan pendidikan islam indonesia



TANTANGAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
Membentuk ulama yang berpengetahuan dalam dan berpendirian luas serta mempunyai semangat dinamis. Hanya ulama yang seperti itulah yang bisa menjadi pendidik yang sebenarnya dalam masyarakat.” (Kutipan Pidato Hatta berjudul “Sifat Sekolah Tinggi Islam”
saat pembukaan STI di Yogyakarta 10 April 1946)
Pendidikan Islam di Indonesia selalu dihadapkan pada tantangan-tantangan serius yang membutuhkan perhatian ekstra dari pemerintah dan kalangan yang berkecimpung di dunia pendidikan. Dewasa ini, pendidikan Islam setidaknya menghadapi empat tantangan pokok. Pertama, konformisme kurikulum dan sumber daya manusia; kedua, implikasi perubahan sosial politik; ketiga, perubahan orientasi; dan keempat, globalisasi. Semua tantangan pendidikan Islam tersebut terkait satu sama lain.
Musuh Kreativitas
Konformisme, atau cepat merasa puas dengan keadaan yang ada, merupakan tantangan pendidikan di manapun. Konformisme adalah musuh utama kreatifitas. Padahal, kreatifitas sangat dibutuhkan untuk terus memperbarui keadaan pendidikan. Jepang yang dikenal dengan sistem pendidikan yang ketat justru sejak 1980-an meninjau ulang pendidikan mereka yang dianggap terjebak konformitas. Kreatifitas yang merupakan “roh” pendidikan dinilai sudah lama tercerabut sehingga hal itu sangat mengkhawatirkan pemerintah Jepang.
Pendidikan Islam yang sudah “tertinggal” (dibandingkan pendidikan yang berorientasi sekuler) malah juga terjebak pada konformisme. Ini tentu suatu kondisi yang lebih paradoks. Konformisme biasanya terjadi pada suatu kondisi yang sudah mapan (established), akan tetapi hal ini justru terjadi pada konteks pendidikan Islam yang bergerak lamban. Bisa dibayangkan, implikasi lebih lanjut dari konformisme pendidikan Islam.
Kurikulum yang kini dijalankan di lembaga pendidikan Islam, khususnya pada pendidikan dasar dan menengah, masih banyak menggunakan model lama. Pendidikan dasar agama masih menjadi andalan, sebagai bekal mengajarkan pendidikan agama lebih lanjut kepada masyarakat, akan tetapi hal ini saja tidak cukup. Harus diikuti dengan bekal pengetahuan lainnya yang kontekstual dengan perkembangan sosial. Sekalipun di lembaga tertentu ada pembaruan kurikulum, namun sifatnya masih parsial. Secara keseluruhan kurikulum pendidikan Islam masih konservatif.
Implikasinya sangat serius ketika para lulusannya (SDM) menghadapi perubahan di luar dunia pendidikan mereka. Dunia ini jauh lebih kompleks daripada yang mereka pelajari dan bayangkan selama berada di tempat belajar-mengajar tadi. Pluralitas sosial dan kemanusiaan di tengah masyarakat membuat mereka gagap. Indonesia yang mereka diami rupanya sebuah entitas yang berwarna. Kebangsaan ini rupanya tak bisa dilihat secara monolitik, misal dari sudut pandang umat Islam saja. Di sisi lain, kelompok sosial yang merupakan produk pendidikan sekuler, dan mereka umumnya non-muslim, justru lebih adaptif, responsif, serta menguasai tren iptek.
Perubahan sosial politik ikut memberi ‘warna’ pendidikan Islam. Label sebagai institusi pendidikan Islam ikut mempengaruhi persepsi publik terhadap posisi lembaga pendidikan Islam dalam konteks perubabahn sosial politik. Ironisnya, lembaga pendidikan Islam kerap dijadikan “kendaraan” oleh para petualang politik mencari dukungan. Setelah dukungan suara didapatkan, kenyataannya lembaga pendidikan Islam tadi tetap tidak banyak berubah. Realitas seperti ini dikhawatirkan memandulkan gerak pendidikan agama. Visi pendidikan Islam akhirnya sulit berubah dari lembaga yang hanya mendidik para calon ulama, dalam konotasinya yang ortodoks.
Paradoks lainnya berkaitan dengan stigma baru yang mendera lembaga-lembaga pendidikan agama. Dewasa ini lembaga pendidikan Islam mendapat citra baru, yakni mengajarkan radikalisme. Padahal kalau diperiksa tidak semua pesantren mengajarkan pendidikan dengan orientasi yang mengarahkan peserta didik berbuat radikal. Islam agama damai dan menyejukkan (hanif) mesti tetap menjadi pesan pokok pengajaran mulai dari tingkat ibtidaiyah sampai perguruan tinggi. Radikalisme dalam pengajaran biasanya memunculkan radikalisme dalam tindakan.
Perubahan Orientasi
Perubahan orientasi pendidikan Islam sudah menjadi keniscayaan dan tuntutan zaman, terlebih di era globalisasi dewasa ini. Orientasi dari sekedar mendidik mereka untuk memahami ilmu (pengetahuan) agama an sich haruslah diubah menjadi paham terhadap ilmu agama sekaligus ilmu sosial, ilmu humaniora dan ilmu alam. Ilmu agama dan “ilmu duniawi” harus konvergen.
Sayangnya lembaga pendidikan Islam terlalu lambat menyadari ketertinggalan ini. Tokoh pendidikan kita terlalu berpikir konservatif dan masih terjebak pada dikotomi antara pendidikan agama-pendidikan umum. Padahal dikotomi itu justru mematikan kreatifitas. Untunglah, dalam batas tertentu sebagian kecil yang berlatar pendidikan “sekuler” relatif lebih cepat menyadari kejumudan. Tidak heran, dewasa ini di perguruan tinggi umum diajarkan pula ekonomi Islam, sosiologi agama (Islam), psikologi Islam, antropologi agama (Islam) dan lainnya. 
Pada tahun 1980-an, cendekiawan Soedjatmoko sudah mewanti-wanti bangsa Indonesia memasuki abad 21. Dikatakan, pendidikan menjadi “tumpuan” harapan bangsa Indonesia untuk bersaing di kompetisi global. Ketika negara maju terus melakukan pembaruan terhadap sistem pendidikan mereka, maka ironis sekali melihat dunia pendidikan Indonesia tidak banyak melakukan terobosan, sekalipun kecil. Kualitas SDM yang dibutuhkan sejatinya adalah SDM yang punya kualifikasi dan visi global.  Secara personal, mantan Rektor Universitas PBB itu mengatakan, SDM masa depan, adalah SDM yang tidak hanya menguasai satu dua disiplin dan keahlian tertentu, melainkan beberapa bidang ilmu dan keahlian sekaligus.
Sekalipun ditujukan ke dunia pendidikan nasional, tetapi peringatan Koko (panggilan Soedjatmoko) di atas terasa sangat kontekstual dengan kondisi pendidikan Islam. Terhadap pendidikan nasional (sekuler) saja, sudah muncul keprihatinan yang mendalam, karena tidak ada terobosan yang begitu dahsyat setelah lebih 60 tahun merdeka. Apalagi terhadap pendidikan Islam. Padahal, ribuan bahkan jutaan SDM Indonesia kini dididik di lembaga pendidikan Islam dari tingkat sekolah dasar sampai pascasarjana.
Seperti dikutipkan di awal tulisan ini, tokoh nasionalis Bung Hatta juga punya pandangan menarik soal pendidikan Islam yang patut kita renungkan lagi. Ia mengutarakan nasehatnya malah sejak awal Republik, tetapi tidak pernah diaplikasikan secara serius. Sang proklamator mengatakan, agama hidup di masyarakat, sedangkan masyarakat itu sendiri senantiasa mempunyai dinamika dan perubahan. Oleh sebab itu, para pendidik agama pun harus bisa menangkap dan tanggap terhadap “roh” perubahan, agar Islam senantiasa compatible dengan perkembangan masyarakat.
Masalahnya, sebagian lembaga pendidikan Islam masih “alergi” dengan filsafat, bahkan ilmu sosial lainnya yang dituding sebagai bentuk hegemoni Barat di bidang ilmu pengetahuan. Sayangnya, kalangan Islam sendiri tidak bisa melakukan dekonstruksi atas ilmu sosial Barat. Walau tidak seluruhnya, akan tetapi secara umum kondisi ini menunjukkan bahwa pendidikan Islam Indonesia mengalami kejumudan serius.

Model Pengembangan Instruksional



BERBAGAI MODEL PENGEMBANANGAN SISTEM INSTRUKSIONAL
I.         PENDAHULUAN
Mengajar merupakan pekerjaan professional yang tidak bisa lepas dari berbagai macam problema, apalagi yang dihadapi masyarakat yang dinamis. Guru sebagai pendidik dan pengajar dalam melaksanakan tugasnya sering menemukan problema-problema yang dari waktu kewaktu selalu berbeda, apalagi bila dihubungkan dengan keperluan perorangan atau kemasyarakatan, maka keaneaan problematika tersebut makin luas. Sabenarnya problematika tersebut datang dari implikasi dinamika masyarakat itu sendiri, yaitu menunjukkan hidup manusia menuntut kemajuan-kemajuan yang perlu dipenuhi oleh masyarakat itu sendiri. Akan tetapi problema yang menuntut kepada penelitian yang cermat mengenai sumber-sumber penyebabnya dan akibat-akibat apa yang akan timbul bila tidak terselesaikan.
Oleh karena itu dalam melaksanakan tugasnya, guru mempunyai banyak problema yang terkait dengan anak didik, kurikulum, metode pengajaran, dan tuntutan umum yang lainnya. Dari berbagai dinamika dan problem-problem diatas, guru masih dituntut untuk bersikap professional, walaupun tidak didukung dengan sarana yang layak, jadi disini kerja guru ekstra atau harus bekerja secara optimal.

II.      RUMUSAN MASALAH
A.    Apa Pengertian Sistem Instruksional?
B.     Apa saja Model-model Pegembangan Sistem Instruksional!
C.    Apa Perbedaan dan Persamaan Model-model Sistem Instruksional?

III.   PEMBAHASAN
A.    Pengertian Sistem Instruksional
Istilah pengembangan sistem instruksional (instructional system design) dan disain instruksional (instructional design) sering dianggap sama. “disain” berarti membuat sketsa atau pola atau outline atau rencana pendahuluan “mengembangkan” berarti membuat tumbuh secara teratur untuk menjadikan sesuatu lebih besar, lebih baik, lebih efektif, dan sebagainya.
Pengembangan Sistem Instruksional ialah suatu proses menentukan dan menciptakan situasi dan kondisi tertentu yang menyebabkan siswa dapat berinteraksi sedemikian rupa sehingga terjadi perubahan di dalam tingkah lakunya.
Sedangkan menurut Ely Pengembangan sistem instruksional adalah suatu proses secara sistematis dan logis untuk mempelajari problem-problem pengajaran, agar mendapatkan pemecahan yang teruji validitas dan praktis bisa dilaksanakan.
Pengembangan sistem intruksional ialah proses menciptakan situasi dan kondisi tertentu yang memungkinkan siswa berinteraksi sehingga terjadi perubahan perilaku dan mempelajari problem-problem pengajaran, agar mendapatkan pemecahan yang teruji validitas dan praktis bisa dilaksanakan. Pengembangan ini senantiasa didasarkan pada pengalaman, pengamatan yang sesama dan percobaan yang terkendali.

B.     Model-model Pengembangan Sistem Instrusional
Ada beberapa model pengembangan instruksional, antara lain pengembangan instructional model Banathy, PPSI, model Kemp, model Briggs, model Gerlach & Ely, model IDI (Instruksional Development Institute), dan lain-lainnya.
1.      Model Bela H. Banath
     Pengembangan Instruksional model Banathy ini dapat diinformasikan dalam enam langkah sebagai berikut:

1)      merumuskan tujuan (Formulate objectives)
2)      mengembangkan test (develop test)
3)      menganalisis kegiatan belajar (analyze learning task)
4)      mendesain struktur instruksional (design system)
5)      melaksanakan kegiatan dan mengetes hasil (Implement and test output)
6)      mengadakan perbaikan (change to improve)

2.      Model Briggs
Model Brigs ini berorientasi pada rancangan sistim dengan sasaran dosen atau guru yang akan bekerja sebagai perancang kegiatan instruksional maupun tim pengembangan instruksional yang susunan anggotanya meliputi: dosen, administrator, ahli bidang studi, ahli evaluasi, ahli media dan perancang instruksional.
Brigs berkeyakinan bahwa banyak pengetahuan tentang belajar mengajar dapat diterapkan untuk semua jajaran dalam bidang pendidikan dan latihan. Karena itu dia berpendapat bahwa model ini juga sesuai untuk pengembangan program latihan jabatan, tidak hanya terbatas pada program-program akademis saja. Di samping itu, model ini dirancang sebagai metodologi pemecahan masalah instruksional.
Dalam pengembangan instruksional ini berlaku prinsip keselarasan antara tujuan yang akan dicapai, strategi pencapaiannya dan evaluasi keberhasilannya, yang ketiganya merupakan tiang pancang desain instruksionalnya Briggs.
3.      Model Kemp
Pengembangan instruksional yang dikembangkan oleh Kemp (1977) ini juga disebut sebagai Desain Instruksional, yang terdiri dari 8 langkah.
a.       Penentuan tujuan instruksional umum (TIU); yaitu tujuan yang ditetapkana menurut masing-masing pokok bahasan.
b.      Menganalisis karakteristik siswa; dalam analisis ini memuat hal-hal yang berkenaan dengan latar belakang pendidikan siswa, sosial budaya yang memungkinkan dapat mengikuti program kegiatan belajar, serta langkah-langkah apa yang perlu ditetapkan.
c.       Menentukan tujuan instruksional khusus (TIK); yakni tujuan yang ditetapkan secara operasional, spesifik dan dapat diukur. Dengan demikian siswa dapat mengetahui apa yang akan mereka lakukan, bagaimana melakukannya dan apa ukuran yang digunakan bahwa mereka dapat mencapai tujuan belajar tersebut.
d.      Menentukan materi pelajaran;yang sesuai dengan tujuan instruksional khusus yang telah ditetapkan.
e.       Mengadakan penjajakan awal (preassesment); langkah ini sama halnya dengan test awal yang fungsinya untuk mengetahui kemampuan yang dimiliki siswa, apakah telah memenuhi syarat belajar yang ditentukan ataukah belum.
f.       Menentukan strategi belajar dan mengajar yang relevan; sebagai patokan untuk memilih strategi yang dimaksud, Kemp menentukan 4 kriteria;

a)              Efisiensi;
b)              Keefektifan;
c)              Ekonomis;
d)             Kepraktisan.


g.      Mengkoordinasi sarana penunjang yang dibutuhkan, meliputi:

a)              Biaya
b)              Fasilitas
c)              Peralatan
d)             Waktu
e)              Tenaga

h.      Mengadakan evaluasi; hasil evaluasi tersebuut digunakan untuk mengontrol dan mengkaji sejauhmana keberhasilan suatu program yang telah direncanakan mencapai sasaran yang diinginkan. Hasil evaluasi merupakan umpan balik untuk merevisi kembali tentang; program instruksional yang telah dibuat, instrument tes, metode strategi yang dipakai dan sebagainya.
4.      Model IDI
Pengembangan instruksional model IDI (Instruksional Development Institute) merupakan suatu hasil konsorsium antar perguruan tinggi di Amerika Serikat yang dikenal dengan Uniiversity Consorsium Instructional Development and Technology (UCIDT).
Model IDI ini telah dikembangkan dan diuji-cobakan pada beberapa negara di Asia dan Eropa dan telah berhasil di 334 institusi pendidikan di Amerika. Sebagaimana halnya dengan model-model pengembangan instruksional lainnya, model ini juga menggunakan model pendekatan sistim yang meliputi tiga tahapan, yakni;
a.     Tahap pembatasan (define)
                        Identifikasi masalah dimulai dengan analisis kebutuhan atau yang disebut need assesment. Pada dasarnya need assisment ini berusaha menemukan suatu perbedaan (descrypancy) antara apa yang ada dan apa yang idealnya (yang diinginkan). Karena banyaknya kebutuhan pengajaran, maka perlu diadakan prioritas mana yang didahulukan dan mana yang dikemudian.
b.    Tahap Pengembangan
                        Identifikasi tujuan; tujuan instruksional yang hendak dicapai perlu diidentifikasikan terlebih dahulu, baik tujuan instruksional umum (TIU) dalam hal ini IDI menyebutkan dengan Terminal Objectives dan tujuan instruksional khusus (TIK) yang disebut Enabling Objectives. TIK adalah penjabaran yang lebih rinci dari TIU, maka TIK dianggap penting sekali dalam pengembangan instruksional, disamping itu TIK perlu karena;
1)        Membantu siswa dan guru untuk memahami secara jelas apa-apa yang diharapkan sebagai hasil kegiatan instruksional;
2)        TIK merupakan building blocks dari pengajaran yang diberikan
3)        TIK merupakan penanda tingkah laku yang harus diperlihatkan oleh siswa sesuai dengan kegiatan instruksional yang diberikan.
c.     Tahap penilaian
1)        Tes uji coba
2)        Analisis hasil
5.      Model PPSI
     PPSI merupakan singkatan dari prosedur pengembangan sistem intruksional. Istilah sistem instruksional mengandung pengertian bahwa PPSI menggunakan pendekatan sistem dimana pembelajaran adalah suatu kesatuan yang terorganisasi, yang terdiri dari seperangkat komponen yang saling berhubungan dan bekerjasama satu sama lain secara fungsional dan terpadu dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan.
     Model pengembangan intruksional PPSI ini memiliki 5 langkah pokok yaitu:
a.       Perumusan tujuan/kompetensi
                        Merumuskan tujuan/kompetensi beserta indicator ketercapaiannya yang harus memenuhi 4 kriteria sebagai berikut:
1) Menggunakan istilah yang operasional
2) Berbentuk hasil belajar
3) Berbentuk tingkah laku
4) Hanya satu jenis tingkah laku
b.      Pengembangan alat penilaian
1) Menentukan jenis tes/intrumen yang akan digunakan untuk menilai tercapai tidaknya tujuan
2) Merencanakan pertanyaan (item) untuk menilai masing-masing tujuan
c.       Kegiatan belajar
1) Merumuskan semua kemungkinan kegiatan belajar untuk mencapai tujuan
2) Menetapkan kegiatan belajar yang tak perlu ditempuh
3) Menetapkan kegiatan yang akan ditempuh
d.      Pengembangan program kegiatan
1) Merumuskan materi pelajaran
2) Menetapkan model yang dipakai
3) Alat pelajaran/buku yang dipakai
4) Menyusun jadwal
e.       Pelaksanaan
1)   Mengadakan pretest
2)   Menyampaikan materi pelajaran
3)   Mengadakan posttest
4)   Perbaikan

C.    Perbedaan dan Persamaan Model-model Sistem Instruksional
Model-model yang telah disebutkan tadi mempunyai banyak perbedaan dan persamaan. Perbedaan model-model tersebut terletak pada istilah yang dipakai, urutan, dan kelengkapan langkahnya.
Persamaannya ialah bahwa setiap model mengandung kegiatan yang dapat digolongkan, ke dalam tiga kategori kegiatan pokok, yaitu:
a.    Kegiatan yang membantu menentukan masalah pendidikan dan mengorganisasi alat untuk memecahkan masalah tersebut;
b.    Kegiatan yang membantu menganalisis dan mengambangkan pemecahan masalah; dan
c.    Kegiatan yang melayani keperluan evaluasi pemecahan masalah tersebut.
Semua kegiatan tersebut satu dengan lainnya dihubungkan oleh suatu sistem umpan balik yang terpadu dalam model bersangkutan. Adapun sistem umpan balik tersebut memungkinkan adanya perbaikan-perbaikan sistem.

DAFTAR PUSTAKA
Gentry, C. G. 1994. I ntroduction to instructional development: Process and technique . Belmont, CA: Wadsworth Publishing Company.
Morrison, Gary R., Steven M. Ross, and Jerrold E. Kemp.2007. Designing Effective Instruction 5th edition. USA: Jhon Wiley & Sons, Inc.
Smith, P. L. & Ragan, T. J. .1993. I nstructional desig n . New York: Macmillan Publishing Company.
Fowler, Christian. 1996. Synthesis Fundamentals Seminar:Testing the nstructional Project Development and Management (IPDM) Model by Major paper submitted to the Faculty of the VI.